Oleh: Muhammad Noor Fadillah
(Anggota Dewan Kesenian Kabupaten Barito Kuala)
Malam itu ada yang berbeda dari biasanya. Dari sebuah panggung di salah satu sudut Lapangan 5 Desember Marabahan, terdengar sahut-sahutan pembacaan puisi. Diiringi alunan musik, mulai dari pelajar hingga orang dewasa dengan lepas mengekspresikan perasaan mereka lewat kata-kata nan puitis. Membuat malam itu terasa lebih istimewa khususnya bagi para pecinta sastra.
Saya sendiri selama di Marabahan rasa-rasanya baru kali pertama itu melihat ada pembacaan puisi di Lapangan 5 Desember lengkap dengan sorot lampu, sound system yang mantap, dan musik pengiring. Atau bisa juga sih saya yang memang tidak tahu menahu tentang acara semacam ini sebelumnya.
Meskipun jumlah penontonnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan penonton dangdut, tetapi tak jadi masalah. Adanya pembacaan puisi yang dapat dinikmati masyarakat saja sudah perlu kita apresiasi.
Bicara tentang puisi atau yang lebih luas lagi yaitu sastra di Barito Kuala, sependek pengetahun saya keadaannya selama ini seperti “timbul tenggelam”. Kadang-kadang ada dan lebih sering tidak ada.
Sebagai contoh, pada 2016 silam Barito Kuala pernah mengadakan acara sastra nasional, yaitu Tifa Nusantara 3. Acara tersebut sukses diselenggarakan di Marabahan dengan menghadirkan puluhan penulis dari berbagai wilayah di Indonesia.
Kesuksesan acara juga terlihat pada penerbitan buku antologi puisi berjudul Ije Jela. Berdasarkan catatan kurator, pada awal pengumpulan puisi terdapat 1.713 puisi yang masuk. Beberapa penulis bahkan ada yang berasal dari Malaysia dan Pattani Thailand.
Akan tetapi setelah sukses penyelenggaraan Tifa Nusantara 3, tidak terdengar lagi adanya acara semegah itu atau bahkan dalam skala yang lebih kecil lagi. Entah apa penyebabnya.
Begitupun dalam hal penerbitan buku antologi sastra bersama.
Barito Kuala selama ini masih tertinggal dibandingkan daerah di Kalsel lainnya. Seperti yang dituliskan Syarkian Noor Hadie dalam sambutannya pada buku antologi puisi berjudul Pada Suatu Hari di Bumi Ije Jela.
Berdasarkan catatan mantan Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Barito Kuala ini, penerbitan buku antologi puisi bersama penyair Barito Kuala terakhir kali pada 2013. Pada tahun-tahun berikutnya Barito Kuala sepi dari penerbitan buku antologi puisi bersama.
Barulah pada tahun 2019 terbit buku antologi puisi berjudul Pada Suatu Hari di Bumi Ije Jela yang berhasil mengumpulkan 20 penyair Barito Kuala. Itu artinya dalam kurun waktu 2013 hingga 2019 telah terjadi “kekosongan karya sastra” di Barito Kuala.
Meskipun bukan berarti semua penyair Barito Kuala tak berkarya selama itu. Beberapa penyair dan penulis masih eksis dan turut berpartisipasi pada kegiatan-kegiatan sastra di daerah lain. Hanya saja masih disayangkan karena di Batola sendiri masih minim pembukuan karya sastra.
Kabar baiknya beberapa tahun belakangan ini kita melihat perkembangan sastra di Barito Kuala kembali menggeliat. Diawali pada tahun 2020 dengan terbentuknya komunitas literasi bernama Komunitas Perahu Kata.
Selain mewadahi para penulis di Marabahan (yang sebelumnya “bercerai-berai”), pada awal tahun 2022 komunitas tersebut mampu menerbitkan buku antologi puisi penyair Batola berjudul Peramu Kata. Buku yang diterbitkan bekerjasama dengan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Batola ini memuat karya dari 7 penyair Marabahan yang sekaligus anggota komunitas.
Selanjutnya buku tersebut dibagikan ke banyak sekolah di Barito Kuala serta ke para sastrawan senior di Kalimantan Selatan.
Berdasarkan informasi yang ada pada akun instagram mereka, @perahukata.batola, komunitas ini rencananya akan kembali menerbitkan buku antologi puisi penyair Barito Kuala. Beberapa nama penulis baru mulai bermunculan. Semoga saja ini dapat menjadi langkah maju untuk regenerasi sastrawan. Kita tunggu saja kabar baiknya.
Kemudian pada akhir tahun 2022, Dewan Kesenian Kabupaten Barito Kuala menutup tahun dengan menggelar kegiatan Malam Apresiasi Seni bertempat di Panggung Gelora Marabahan. Kegiatan yang terbuka untuk umum itu menampilkan seni tari, menyanyi, dan baca puisi.
Di awal tahun ini Pemerintah Daerah melalui Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Barito Kuala memberikan “karpet merah” kepada para sastrawan dengan mengadakan Pagelaran Seni dan Sastra. Pada kesempatan itu ditampilkan pembacaan puisi, menyanyi, dan dramatisasi puisi. Kegiatan tersebut sekaligus memeriahkan Pasar Rakyat yang diadakan dalam rangka Hari Jadi Batola ke-63.
Sebenarnya terlalu dini jika mengambil kesimpulan bahwa sastra di Batola bangkit kembali. Karena bisa saja ini hanyalah euforia sesaat yang pada akhirnya memilik nasib sama seperti sebelumnya; timbul tenggelam.
Namun kita nampaknya harus terus berharap agar perkembangan sastra di Batola bukan sekadar terlihat seperti riak-riak Sungai Barito, tetapi dapat menjadi gelombang yang lebih besar dan terus ada. Gelombang yang akan membawa peradaban kita ke arah yang lebih baik lagi. Semoga saja.