TERAS7.COM – Ada beragam metode pengawetan makanan yang dikenal di masyarakat Banjar, dimana pengawetan makanan tersebut bertujuan untuk memperpanjang masa simpan makanan.
Yang cukup terkenal di masyarakat selain ikan kering (iwak karing). diantaranya adalah wadi yaitu mengawetkan ikan dengan penggaraman di wadah tertutup, kemudian mandai yang merupakan pengawetan kulit buah tiwadak (cempedak) sebagai lauk makan, dan tempuyak atau pengawetan daging buah durian.
Salah satu metode pengawetan yang cukup familiar, namun cukup jarang adalah pengawetan menggunakan asap seperti makanan khas banjar, Rimpi yang merupakan pengawetan buah pisang.
Tak hanya buah pisang, metode pengasapan juga dipakai untuk mengawetkan ikan yang merupakan sumber protein dan mudah ditemukan, yang mana ikan yang diawetkan dengan metode ini disebut ikan salai.
Namun pada masa lalu, metode pengasapan ikan ini diterapkan pada dapur tradisional masyarakat Banjar yang masih menggunakan bahan bakar kayu.
Ikan-ikan yang akan diawetkan ini pada masa lalu digantung di atas dapur yang juga menjadi tempat penyimpanan kayu bakar, kemudian asap dari pembakaran kayu selama memasak ini membuat ikan yang digantung ini menjadi awet dan memiliki daya simpan lebih lama.
Namun keberadaan dapur tradisional Banjar ini mulai tergeser dengan peralatan dapur modern yang menggunakan gas LPG, sehingga pengawetan dengan metode ikan salai ini jarang ditemui.
Kini, metode memasak dengan metode pembuatan ikan salai kini bisa menggunakan peralatan modern, hal ini didemonstrasikan di Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Banjar saat silaturahmi jelang Ramadhan.
Kabid Angkutan Dan Keselamatan Perhubungan Darat Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Banjar, Yusi Ansyari Nihe pada awak media mengungkapkan alat milik modern miliknya ini menggunakan metode lama seperti dapur tradisional Banjar untuk membuat ikan salai.
“Jadi peralatan ini menggunakan metode lama, tapi dengan alat yang baru,” jelasnya.
Peralatan masak yang berupa tabung besar dengan diameter 80 cm dan setinggi 1,5 meter ini sendiri terbuat dari stainless steel.
Yusi menyebutkan harga peralatan tersebut kurang lebih sebesar 9 juta rupiah, yang mana terdiri atas perangkat untuk tempat pembakaran arang atau kayu, tabung stainless steel dan kepala tabung yang menjadi tempat menempatkan ikan.
Peralatan ini sendiri dilengkapi dengan sistem penyalaan bahan bakar menggunakan gas LPG dan thermometer suhu.
Sama seperti metode tradisional, peralatan ini membakar bahan bakar sehingga menghasilkan asap, yang mana asap tersebut digunakan untuk memasak sekaligus mengawetkan ikan.
Tak hanya ikan, sumber protein lain seperti daging ayam hingga daging sapi bisa dimasak, bahkan walau bumbu yang digunakan hanyalah garam, namun ikan yang di masak akan memiliki rasa yang khas.
“Selain itu lalat juga tak mau hinggap karena alat ini mematikan bakteri yang ada di ikan, sehingga bisa awet dan disimpan dalam jangka waktu yang lama,” jelas Yusi.
Walaupun harganya cukup mahal, menurut Yusi alat ini bisa dibuat dengan harga yang lebih murah, yakni sekitar 50 ribu rupiah dan memanfaatkan bahan yang tersedia seperti tandon berbahan stainless steel.
“Kita bisa membuat peralatan ini dan menekan harganya sampai 500 ribu saja. Peralatan ini bisa digunakan untuk UMKM, sehingga kita punya beragam kuliner, bahkan seperti yang ada di street food Korea,” ungkapnya.
Dikutip dari Wikipedia Indonesia, Ikan asap atau ikan salai adalah ikan yang diawetkan dengan cara pengasapan yang cukup merata ada diberbagai belahan dunia dan menggunakan bahan ikan sesuai negara masing-masing.
Lazimnya ikan asap dihasilkan dengan menggunakan asap yang berasal dari pembakaran kayu atau bahan organik lainnya, dimana metode ini merupakan kombinasi dari pemanasan, penggaraman, dan peresapan zat-zat kimia yang berasal dari asap, yaitu senyawa aldehida, fenol dan asam-asam organik yang bertujuan untuk membunuh bakteri, merusak aktifitas enzim, mengurangi kadar air daging ikan dan meresapkan berbagai senyawa kimia yang berasal dari asap.
Selain itu, pengasapan juga dapat memberi aroma dan rasa lezat yang khas pada daging ikan.
Bergantung pada teknik, bahan-bahan pengawet yang ditambahkan, serta lamanya waktu pengasapan, dikenal beberapa jenis ikan asap hasil dari proses pengasapan tradisional yang berkembang di pelbagai daerah di Indonesia.
Di antaranya adalah ikan salai dari Sumatra dan Kalimantan, ikan panggang dari pesisir utara Jawa, ikan kayu dari Sulawesi bagian selatan, ikan fufu dari Sulawesi Utara, ikan asar dari Ambon, dan lain-lain.
Sementara di luar negeri, ikan Salmon biasa diasap untuk membuat lox, dan beberapa spesies ikan seperti bandeng, hering, makerel, tongkol, tenggiri, dan gabus juga biasa diasap panas. Ikan asap banyak ditemukan dalam masakan Rusia, Yahudi, dan Skandinavia, begitupun dari Eropa Timur dan Tengah.
Pengasapan memberikan beberapa keuntungan, antara lain memberikan efek pengawetan kepada daging ikan, mempengaruhi citarasa ikan, memanfaatkan hasil tangkap yang berlebih ketika musim tangkapan berlimpah, memungkinkan ikan untuk disimpan hingga musim paceklik, meningkatkan ketersediaan protein bagi masyarakat sepanjang tahun, membuat ikan lebih mudah dikemas, diangkut dan dipasarkan, serta biayanya relatif murah dengan metode pengasapan yang kelengkapan peralatannya relatif sederhana.
Tahapan pertama dalam pengasapan adalah pemanasan, yang bertujuan untuk mengeringkan atau menurunkan kadar air dalam daging ikan hingga ke tingkat tertentu yang diinginkan dan dilakukan dengan intensitas asap yang rendah dan pada suhu yang tidak terlalu tinggi, sekitar 60 °C hingga sekitar 80 °C.
Untuk meningkatkan keawetan dan menambah citarasa, adakalanya ikan digarami atau dibumbui terlebih dulu sebelum dikeringkan dalam pemanas setelah ikan dicuci bersih dan sebelum dimasukkan ke dalam tungku pengasap.
Ikan salai yang ada di masyarakat Banjar sendiri menggunakan ikan air tawar yang masih segar lalu dikeringkan dengan proses penyalaian (pengasapan) yang dilakukan selama kurang lebih dua hari tanpa menggunakan bahan pengawet dan pewarna.