TERAS7.COM – Sisa fondasi bangunan yang berada di puncak Bukit Besar, Mandiangin yang selama ini dianggap masyarakat sebagai benteng Belanda, beberapa waktu yang lalu berhasil direstorasi ulang oleh pengelola Tahura Sultan Adam.
Rupanya fondasi bangunan tersebut bukanlah benteng, akan tetapi rumah beristirahat atau pesanggrahan bagi pejabat pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Borneo, lengkap dengan garasi mobil.
Akan tetapi, pesanggrahan tersebut bukan satu-satunya bangunan yang ada di sana, ada sisa fondasi bangunan lain yang berada beberapa puluh meter dari pesanggrahan yang telah dibangun ulang tersebut.
Yaitu Sanitorium Mandiangin yang berfungsi sebagai rumah sakit bagi penderita Tuberkulosis (TBC) Paru pada masa itu, nyaris tidak tersentuh oleh banyak orang karena posisinya yang tersembunyi dan masih dikelilingi semak belukar.
Kumpulan batu gunung yang di susun menjadi jalan setapak selebar 1 meter menjadi akses utama menuju Sanatorium yang berada di sebelah barat daya dari pesanggrahan Belanda.
Tak banyak yang tersisa di lokasi sanitorium ini, hanya susunan fondasi dinding bangunan yang dibuat dari campuran batu andesit, semen portland dan kerikil.
Selain itu, ada 3 buah tandon besar dari beton yang tertanam dalam tanah sebagai tempat menampung air untuk keperluan rumah sakit yang berada di ketinggian 450 meter dari permukaan laut ini.
Kepala UPT Tahura Sultan Adam Mandi Angin, Rahmad Riansyah pada jumat malam (3/5) mengungkapkan Sanatorium Mandiangin ini di buka pada tahun 1940.
“Sanatorium Mandiangin ini memiliki ruangan yang berfungsi sebagai kantor dan tempat tinggal Kepala Sanatorium, ruang pengobatan dan asrama inap pasien, dapur, kamar mandi serta toilet. Setelah Jepang menguasai Kalimantan pada tahun 1943, Sanatorium Mandiangin tidak difungsikan lagi,” ujarnya
Sanatorium ini sendiri didirikan atas peran Stiching Centrale Vereeniging tot Bestrijding der Tuberculose (SCVT) yang disubsidi oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menangani penyakit tuberkulosis paru (TBC atau TB) yang pada awal abad ke 19 menjadi penyakit umum bagi masyarakat di Hindia Belanda.
“Sanatorium ini berfungsi utama sebagai tempat penyembuhan bagi penderita TBC. Berdasarkan penelitian, sanatorium ini dibangun dengan struktur kayu ulin, dinding papan ulin dan atap eternit. Dilengkapi juga dengan kamar mandi dan bak air mandi ukuran kecil serta toilet. Bagian jendela yang menggunakan kaca bertulang,” kata Rahmad Riansyah.
Sanatorium Mandiangin beserta fasilitasnya ini dibangun oleh A.W. Rynders pada tahun 1939 yang tercatat sebagai arsitek di wilayah Zuid en Oost Borneo.
Rahmad Riansyah menambahkan, sanatorium ini pada tahun 2019 akan mulai direstorasi ulang sebagaimana Rumah Pesanggrahan.
“Untuk tahun 2019 ini ada sekitar tiga bangunan utama yang akan kita restorasi, pertama Sanatorium yang dulunya diresmikan pada tahun 1939 kemudian rumah jaga yang berada di samping Pesanggrahan Belanda dan rumah pendamping. Pembangunan ini akan menelan dana sebesar 2,5 miliar, dilengkapi dengan area parkir dan penerangan jalan,” ungkapnya.