Dulu sewaktu sekolah kejuruan, ada beberapa peralatan yang wajib dimiliki oleh semua murid untuk praktek lapangan, salah banyaknya adalah sapu lidi, keranjang rotan dan clurit alias arit.
Benda tajam yang terakhir, konyolnya pernah saya gunakan di luar fungsi utamanya sebagai perangkat penunjang studi.
Gara-garanya ada adik kelas yang coba-coba bikin masalah, jadinya kombinasi darah muda dan otak yang tak pikir panjang, langsung memutuskan untuk menemui junior yang ingin ketemu, sambil menyelipkan arit di pinggang, ceritanya jaga-jaga jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Untungnya pertemuan malam-malam itu cuma berakhir dengan gencatan senjata dan obrolan ngalur ngidul entah apa, saya lupa persisnya.
Kisah kedua terkait senjata tajam, adalah kala seorang kawan bermasalah dengan atasannya yang salah paham.
Saat dia klarifikasi, bukannya mau mengakui kesalahan, sang atasan malah menggertak sambil mengeluarkan belati.
Alih-alih takut dengan ancaman, kawan itu malah menantang balik, dan memberi saran agar kalau pertarungan ingin dilakukan, agar dilakukan di luar tempat kerja saja.
Ceritanya berakhir begitu saja, karena gantian atasannya yang malah tidak berani untuk meladeni saran kawan saya tersebut.
Dari dua hikayat di atas itu, kesamaannya adalah bagaimana jika ego seseorang muncul lalu merasa berani dan merasa jago, yang dalam istilah asing disebut sebagai superiority complex, situasi dimana merasa diri lebih hebat dibandingkan dengan orang lain.

Hal yang biasanya ditunjukkan untuk menutupi kekurangan dirinya. Bagusnya kedua kejadian tersebut berakhir tanpa harus mengakibatkan hal-hal yang buruk.
Salah satu akar ke sokjagoan seseorang itu saya pikir karena kurangnya ilmu, nalar dan emosi yang tidak stabil.
Parahnya terkadang tidak saja terjadi saat masa muda yang penuh gelora, bahkan melewati fase itu pun, masih ada saja beberapa orang yang merasa harus tampak jago di depan orang lain.
Biasanya ditambah dengan faktor pendukung lainnya, yaitu perasaan berkuasa. Merasa semua sistem di sekitarnya harus menuruti kemauannya.
Padahal jika ingat fakta bahwa manusia itu nyatanya nilainya sama di hadapan Sang Pencipta dan kekuasaan manusia sangatlah terbatas, mungkin tidak bakal ada yang merasa paling hebat dan paling berkuasa di antara manusia lainnya.
Masalahnya jika perasaan sok kuasa ini muncul, efek sampingnya adalah munculnya halusinasi, merasa bahwa punya hak atas banyak hal, bahkan atas hak orang lain.

Padahal, kata pepatah: selalu ada langit yang lebih tinggi di atas langit lainnya. Coba saja misalkan adik kelas itu dulu tahu akan kelakuan saya yang sok-sokan membawa senjata tajam dan terjadi duel, bisa-bisa saya malah tidak jadi menuliskan cerita ini di sini.
Atau jika saja tawaran kawan saya di atas untuk membuktikan kejagoan atasannya itu benar-benar terjadi, mungkin saya juga tak bakal ketemu dia lagi saat ini.
Jadi baiknya sudahilah perasaan paling hebat dibanding yang lainnya, soalnya sehebat-hebatnya manusia, tak bakal bisa hidup sendirian di muka bumi ini, bukan begitu?