TERAS7.COM – Tak banyak yang tahu bahwa Kota Martapura yang merupakan pusat Kesultanan Banjar di masa lalu memiliki sebuah bangunan peninggalan kolonial Belanda, bahkan mungkin satu-satunya yang tersisa.
Bangunan yang berada di Jalan Pangeran Hidayatullah, Kelurahan Keraton ini saat ini ditempati oleh kantor Radio Suara Banjar, Intan TV serta menjadi Media Center markas wartawan media massa yang bertugas di Kabupaten Banjar.
Beberapa bagian bagunan ini masih sama persis dengan bangunan aslinya dahulu, bisa dilihat dari bentuk dan kayu-kayu yang ada, dimana dari segi bentuknya gedung ini memiliki arsitektur unik dengan pintu dan jendela dari kayu ulin yang ukurannya cukup besar serta dinding bangunan yang tebal.
Selain itu masih terdapat Pintu Besi pada bagian depan Gedung yang dulunya merupakan jalan masuk menuju tempat penahanan yang ada di bawah tanah.
Kepada Teras7.com, sejarawan banua yang merupakan Dosen PSP Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Mansyur, S.Pd., M.Hum mengungkapkan bangunan ini merupakan bangunan eks Gedung Landraad.
“Berdasarkan perbandingan beberapa sumber sumber kolonial, gedung ini adalah eks Gedung Landraad atau yang umum disebut Pengadilan Negeri pada zaman Hindia Belanda yang bernama Landraad Martapoera. Bangunan diperkirakan dibangun antara tahun 1901-1930. Sesuai fungsinya, digunakan sebagai gedung pengadilan di jaman penjajahan belanda dengan bentuk desain bangunan bergaya klasik, menjadi keunikan tersendiri bagi setiap bangunan peninggalan Belanda,” katanya.
Ketua LKS2B Kalimantan ini menambahkan secara umum kondisi gedung ini masih cukup bagus, walaupun sudah mengalami beberapa kali renovasi.
“Bangunan ini pada masanya menjadi saksi sejarah pertama diberlakukannya penegakan hukum di wilayah Martapura ini. Mereka dihukum oleh para hakim pada zaman Hindia Belanda karena tidak taat membayar pajak, melanggar undang-undang, dan lain sebagainya,” terangnya.
Mansyur memaparkan secara umum Eks Gedung Landraad terdiri dari beberapa bagian, mulai dari aula pengadilan, kantor-kantor bagi para hakim, jaksa, dan lain sebagainya.
Serta ada pula penjara sementara yang dikhususkan untuk para tahanan, ruang tahanan ini ada di bagian bawah tanah Eks Gedung Landraad.
Ketua Tim Riset LAKPL Kalsel mengungkapkan pada awal abad ke-20, untuk mengadili bermacam-macam persoalan pidana dan perdata yang besar, pemerintah Kolonial Belanda mendirikan landraad-landraad atau pengadilan negeri di Banjarmasin, Amuntai, Kandangan dan Martapura.Setiap landraad dipimpin oleh ketua pengadilan yang biasanya dijabat oleh asisten residen, dibantu oleh Jaksa Kepala, Ajunct-Jaksa, seorang Mufti, serta griefier dan Deur waarder (juru sita).
“Wilayah Martapura pada masa kolonial Belanda berstatus onderafdeling Martapura, diperintah seorang kontrolir dengan ibu kotanya Martapura, dibantu pegawai pribumi yang berstatus Inlandsche Rechibank. Disamping menjalankan pemerintahan dengan dibantu pegawai-pegawai bumiputera, kontrolir juga menjalankan pengadilan atas kejahatan dan pelanggaran kecil atau soal sipil dibawah jumlah f 50 (lima puluh gulden). Sebagai ketua pengadilan ia dibantu penghulu, kiai dan adjunct jaksa,” ceritanya.
Sebelum pembangunan gedung Landraad ini, sejak tahun 1895 kata Mansyur sudah ada pengadilan (landraad) di Martapura, dimana Pangeran Muhammad Kesuma Giri menjadi Djaksa Landraad Martapoera.Dalam register Almanak Prijai 1897 tertulis nama Djaksa Pangeran Koesoemo Giri yang diangkat 7 Juli 1890.
Selain itu adanya Landraad Martapoera ini juga tercatat di sumber lain yakni Regeerings-Almanak voor Nederlandsch Indie, Bagian 2, Dutch East Indies, 1893, pada Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie, Bagian 2, Dutch East Indies, 1896 dan Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie, Bagian 2, Dutch East Indies, 1898.
Pangeran Koesoemo Giri dalam jabatannya sebagai Djaksa/Jaksa (officier van justitie) adalah pegawai pemerintah dalam bidang hukum yang bertugas menyampaikan dakwaan atau tuduhan di dalam proses pengadilan terhadap orang yang diduga telah melanggar hukum.
“Berakhirnya peperangan di Eropa mengakibatkan daerah jajahan Belanda yang dikuasai Inggris akan dikembalikan kepada Belanda (Conventie London 1814). Pada masa ini Pemerintah Hindia-Belanda berusaha untuk mengadakan peraturan-peraturan di lapangan peradilan sampai pada akhirnya pada 1 Mei 1848 ditetapkan Reglement tentang susunan pengadilan dan kebijaksanaan kehakiman 1848 (R.O),” paparnya.
Dalam R.O ada perbedaan keberlakuan pengadilan antara bangsa Indonesia dengan golongan bangsa Eropa dimana dalam Pasal 1 RO disebutkan bahwa landraad, merupakan pengadilan sehari-hari biasa untuk orang Indonesia asli dan dengan pengecualian perkara-perkara perdata dari orang-orang Tionghoa orang-orang yang dipersamakan hukumnya dengan bangsa Indonesia, juga di dalam perkara-perkara dimana mereka ditarik perkara oleh orang-orang Eropa atau Tionghoa selain itu landraad juga berfungsi sebagai pengadilan banding untuk perkara yang diputuskan oleh regenschapgerecht sepanjang dimungkinkan banding.
Selain Pangeran Kesuma Giri, pada versi lain terdapat Jaksa Penuntut Umum Pribumi bergelar jaksa di landraad di Martapoera (Residen Borneo bagian Selatan dan Timur), yakni Pangeran Mas Ardi Kesoema.
“Pangeran Mas Ardi Kesoema kemudian diangkat menjadi bupati pada bulan September 1901. Demikian diberitakan dalam Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indiee, edisi 10 September 1901. Selain itu terdapat jaksa dengan gelar jaksa di landraad Martapoera,yakni Ali Badrun bin Kiai Bondan yang diangkat Bulan Agustus 1907. Kemudian jaksa Goesti Omer bin Pangeran Rachmat ditetapkan 18 Desember 1911, dilanjutkan Hadji Antemas bin Hadji Achmad Kasasi, diangkat 3 Mei 1915. Berikutnya jaksa Andin Abdoessamat yang diputuskan kan pada Bulan April 1924, jaksa Mohamad Saad, diangkat 17 Mei 1929. Dilanjutkan Jaksa Artoem, yang diangkat 19 Agustus 1931 serta Jaksa Sjachroel bin matseman, ditetapkan 10 Maret 1938,” urainya.
Karena bangunan eks Landraad Martapoera ini memiliki sejarah yang begitu panjang, karena itu menurut Mansyur perlu ada langkah untuk melestarikan bangunan bersejarah pada era modern ini, diantaranya dengan terus melibatkan golongan muda dalam usaha pelestarian bangunan.
“Sebuah pemahaman pentingnya melestarikan bangunan bersejarah haruslah diberikan kepada setiap generasi. Jika pemahaman tersebut terputus hanya dimiliki oleh golongan–golongan tua saja maka kelak sudah dapat dipastikan tidak ada lagi bangunan–bangunan bersejarah di Indonesia ini,” terangnya.
Ada banyak cara jelas pria yang meraih gelar Agung Cendikia dalam Milad Kesultanan Banjar ke 516 ini untuk melibatkan golongan muda dalam usaha pelestarian bangunan bersejarah, diantaranya adalah dengan banyak melakukan kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan jaman sekarang di lokasi bangunan bersejarah seperti pameran, seminar, workshop.
“Dengan mengadakan kegiatan–kegiatan yang melibatkan banyak pemuda tersebut maka akan meningkatkan rasa kepekaan mereka terhadap bangunan heritage. Dampaknya, rasa kepemilikan terhadap bangunan heritage akan meningkat dan dari situlah mulai tertanam pemahaman akan pentingnya melestarikan bangunan-bangunan bersejarah. Mengaktifkan kembali bangunan heritage sebagai ruang–ruang publik dimana ruang publik saat ini menjadi suatu hal yang ‘seksi’ bagi para golongan muda,” tutup Mansyur.