TERAS7.COM – Kabupaten Balangan, hampir di setiap kecamatannya, pekerjaan mayoritas masyarakatnya adalah seorang petani dan penyadap karet.
Kabupaten kini telah berusia 17 tahun setelah resmi dimekarkan dari Kabupaten Hulu Sungai Utara, masih masih menyisakan kenangan terhadap peninggalan benda yang berhubungan dengan kejayaan perkebunan karet.
Berdasarkan Wikipedia, di Balangan sampai tahun 2020, perkebunan karet di Bumi Sanggam, mempunyai luas areal tanam 30.591 hektar, dengan hasil produksi 24.342,31 ton/tahun.
Berdasarkan laman balangankab.go.id, Balangan adalah bekas distrik (kawedanan), yang merupakan bagian dari wilayah administratif Onderafdeeling Alabio dan Balangan pada zaman kolonial Hindia Belanda dahulu.
Kini wilayah distrik ini telah berkembang menjadi Kabupaten Balangan.
Ditinjau dari sisi sejarah, khususnya pada masa perjuangan fisik melawan Belanda, Balangan memang berbeda dari HSU.
Pertahanan Amuntai dipegang oleh pemerintahan militer Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IV Kalimantan dengan sebutan BN. 5, sedangkan Paringin punya kode R. 27 B.
Pada masa kolonial, guna memaksimalkan produksi karet di seluruh wilayah Balangan, pemerintah kolonial Belanda mempunyai strategi khusus dalam perniagaan karet.
Strategi khusus itu, dinamakan sistem kupon, yaitu hadiah yang diberikan setiap tahunnya bagi pemilik kebun karet yang selalu memelihara kebun karetnya dengan baik, sehingga terawat dan bersih serta baik hasil sadapannya.
Strategi yang dijalankan Belanda guna mengambil keuntungan, sebagai pihak pemegang monopoli perdagangan karet dalam jumlah besar ini, ternyata cukup efektif untuk memancing pemilik kebun karet memelihara kebun karet dan kualitas karetnya, sehingga meningkatkan pendapatan para pemilik kebun.
Masa kejayaan karet ini menjadikan para pemilik kebun besar mempunyai kemapanan ekonomi dimasanya.
Mereka juga mempunyai kesempatan membangun rumah berarsiktektur Eropa, yang digabung dengan arsitektur yang dikenal dengan istilah Rumah Kuna.
Ada tiga buah rumah Kuna di Kabupaten Balangan, tepatnya di Desa Simpang Tiga dan Hilir Pasar Kecamatan Lampihong, yang dibangun pada masa kolonial Belanda sekitar tahun 1932.
Ketiga rumah Kuna ini masing-masing milik Alm. H. Sjoekoer dan Alm. H Densi di Desa Simpang Tiga.
Satu lagi rumah Kuna milik Alm. H. Sulaiman di Desa Hilir Pasar.
Namun sayang, rumah ini terlihat kurang terawat bila dibandingkan dengan kedua rumah Kuna lainnya.
Diketahui Alm. H. Densi merupakan pemilik kebun karet besar di wilayah Batu Mandi pada masa kolonial Belanda.
Arsitektur rumah Kuna ini merupakan perpaduan antara arsitektur tradisional dengan arsitektur Eropa.
Arsitektur Eropa ditandai dengan pengunaan beton pada bagian depan ataupun bawah (lantai) sedangkan arsitektur tradisional ditegaskan dengan bentuk rumah panggung dan bentuk pintu dan jendela yang tinggi besar.
Fasat depan penuh dengan jendela kupu-kupu yang berbentuk angin-angin. Ciri tradisional lainnya ditandai dengan adanya makam dan kolam air di samping rumah (rumah milik Alm. H. Sjoekoer).
Selain itu, rumah Kuna milik Alm. H. Densi pada bagian depannya ada bangunan kecil seperti pos penjagaan.
Bangunan kecil ini adalah rumah uang (brankas) yang digunakan untuk menyimpan uang hasil penjualan karet pada masa itu.
Hal ini membuktikan wilayah Balangan secara umum pernah mengalami jaman kejayaan karet dimasa kolonial Belanda.
“Rumah Kuna milik Almarhum Haji Sjoekoer juga pernah dipakai oleh tentara Belanda saat masa revolusi pada tahun 1948-1949,” ujar Johansyah (63thn) salah satu warga Desa Simpang Tiga.
Rumah Kuna milik Alm. H. Sjoekoer, menurut Johansyah, dipilih Belanda sebagai pos tentaranya karena letaknya yang strategis yakni, terletak di pinggir jalan raya Amuntai-Paringin dan juga hanya berjarak sekitar 100 meter dari sungai Balangan.
Sehingga dengan menempati rumah tersebut, pihak Belanda dengan leluasa melakukan mobilisasi pasukan dari Amuntai ke Paringin akan lebih mudah, baik lewat jalan darat maupun melaui jalur air yakni, menggunakan sungai Balangan yang bermuara ke daerah Amuntai ataupun Alabio hingga ke sungai Barito.
Kini Rumah Kuna milik Alm. H. Sjoekoer tersebut, kini ditempati oleh sang cucu yakni, H Farhat bin H Halidi.
“Saat Belanda memakai rumah kami sebagai markasnya, Ayah dan kakek pergi mengungsi ke tempat keluarga lain yang juga berada di Lampihong,” ungkap H Farhat.
Setelah Belanda pergi, kata H Farhat, keluarganya kembali menempati rumah tersebut.
“Namun sebelum ditempati, rumah ini dibersihan secara aturan Islam yakni, disucikan menggunakan tanah (di Satru),” bebernya
Selain rumah Kuna yang jadi saksi bisu kejayaan perkebunan karet, adalah, alat penggilangan getah karet, teknologi sederhana yang dilakukan secara manual, yang digunakan sekitar tahun 80an.
Alat tersebut berada di Haur Batu, Kelurahan Paringin Kota Kecamatan Paringin Kabupaten Balangan.
Namun hingga kini alat tersebut tidak digunakan lagi bahkan alat tersebut dibiarkan tergeletak begitu saja, dan hampir ditutupi rerumputan.
Benda ini menjadi saksi bisu sejarah, bahwa produksi karet di Balangan puluhan tahun silam pernah berjaya.
Kini, meskipun tidak sekaya dahulu, petani karet sudah menggunakan pengolahan dengan pembekuan latek sendiri di kebunnya, dengan berbentuk lum.
Hal ini membuat alat penggilingan getah karet manual tidak lagi digunakan, sehingga begitu saja dibiarkan alat manual tersebut.
“Dulunya saat melakukan pemanenan di kebun karet, latex atau getah dibawa pulang terlebih dahulu untuk diolah didalam sebuah ruangan, kemudian baru dibawa ke alat penggilingan manual yang tersedia di Desa, hal tersebut untuk mengurangi kadar airnya yang terkandung,” beber Jaini, Sabtu(7/11/2020).
Setelah itu lanjut Jaini, getah yang digiling menggunakan alat manual tersebut dibawa pulang kembali untuk di asapi diatas bara api, untuk menghilangkan kadar air yang tersisa pada getah tersebut.
Kemudian getah yang sudah diasapi tersebut, dikumpulkan dan dibawa ke pasar getah, untuk dijual ke pengepul.
Di tempat terpisah Ramah Bahtiar mengatakan, alat penggilingan getah karet manual yang ada di kampungnya tersebut, sangat bersejarah bagi para petani dahulu, karena alat tersebut sangat sering digunakan saat mengolah hasil panen karet.
“Alat ini meski tidak digunakan lagi oleh para petani, mestinya alat ini jangan sampai hilang. Karena banyak pelajaran berharga dari alat sederhana ini, yang belum tentu para generasi masa kini tahu kisah dan perjuangan petani karet dulu dalam mengolah hasil panen karet,” pungkasnya.