TERAS7.COM – Pengerjaan Jalan Tembus Sungai Ulin Kota Banjarbaru – Mataraman Kabupaten Banjar oleh Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional XI Kalimantan Selatan masih dalam masalah.
Pada pengerjaan lanjutan Jalan Nasional Wilayah II provinsi Kalimantan Selatan dengan total anggaran 16 milyar lebih oleh PT Nugroho Lestari dengan masa pelaksanaan selama 234 hari ini, rupanya ada tanah warga yang dibebaskan untuk pembangunan jalan tersebut, tapi belum dilakukan pembayaran, diantaranya tanah milik H. Supriadi (Alm).
Permasalahan ini pun coba di mediasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Banjar pada Kamis (19/11) di Ruang Rapat DPRD Banjar yang mempertemukan ahli waris pemilik tanah, Dinas PUPR Provinsi Kalsel dan Kontraktor.
Dalam mediasi ini yang dipimpin Ketua DPRD Banjar, M. Rofiqi ini, DPRD Banjar mencoba menemukan solusi dari permasalahan antara ahli waris pemilik tanah, Dinas PUPR Provinsi Kalsel dan Kontraktor.
Ketua DPRD Banjar, M. Rofiqi mengatakan pihaknya sudah dua kali melaksanakan rapat untuk memediasi kedua belah pihak.
“Inti masalah dari polemik ini menurut kami karena prosesnya saja yang kurang tepat, dimana dilakukan eksekusi tanpa ada surat dari pengadilan dan belum diterimanya ganti rugi, karena perbedaan harga ganti rugi antara pemilik tanah dan pemerintah,” sebutnya.
Politisi Gerindra ini berharap permasalahan ini tidak mengganggu pembangunan jalan ini, karena sangat dibutuhkan oleh masyarakat Kabupaten Banjar.
“Sangat kita sayangkan jika proyek yang sudah berjalan ini ternyata terhenti akibat permasalahan ini. Jalan ini sangat kita butuhkan, karena saat even seperti Haul Guru Sekumpul, jalan ini bisa mengoneksikan Sekumpul ke jalur Hulu Sungai secara langsung. Kita berharap proyek ini tak terganggu dan bisa dilanjutkan,” ungkap Rofiqi.
Sementara itu ahli waris H. Supriadi (alm), Helmi Mardani, warga Desa Jingah Habang, Kecamatan Karang Intan mengungkapkan saat ini pihaknya mempermasalahkan pembayaran ganti rugi yang tak kunjung dibayarkan dan jumlahnya tidak wajar.
“Selain itu kami menyayangkan adanya eksekusi tanpa ada surat dari pengadilan, bahkan Ketua Pengadilan Negeri Martapura saat kami temui mengaku terkejut dan tak tahu menahu mengenai eksekusi. Bahkan dinas terkait juga mengungkapkan tak ada yang menyuruh untuk melakukan pengosongan lahan. Tapi kenyataannya lahan sudah di land clearing dan tinggal pengerasan,” bebernya.
Padahal menurut Helmi, di lahannya ada sekitar 600 batang pohon buah-buahan yang sudah menghasilkan yang turut dibersihkan, namun harga ganti rugi yang ditentukan tak wajar.
“Pohon-pohon seperti durian, rambutan, langsat, kuini, nangka, ramania dan sebagainya yang sudah ditanam bertahun-tahun dan menghasilkan milik kami sudah habis di eksekusi tanpa surat pengadilan,” terangnya.
Jika kasus ini tak selesai, Helmi berencana akan menutup jalan yang melewati tanah miliknya ini sehingga pengerjaan jalan terhenti.
“Tapi kami tak berniat menghambat pembangunan jalan ini, karena almarhum ayah kami tak pernah menghambat pembangunan jalan ini. Kami setuju, tapi ganti rugi harus sesuai, jangan seperti sekarang yang tidak wajar, kami merasa terzalimi,” pungkasnya.