TERAS7.COM – Desa Tungkaran, Kecamatan Martapura merupakan salah satu dari beberapa desa di Kabupaten Banjar yang menjadi tempat ziarah karena banyak bermakam para Ulama dan orang-orang sholeh.
Namun desa ini dulu terkenal dengan nama Tungkaran Mayat ketika belum seramai sekarang, hingga muncul kabar yang mengartikan nama Tungkaran tersebut sebagai keranda.
Hal ini dibantah oleh Kepala Desa Tungkaran, M. Salmani saat ditemui Teras7.com beberapa waktu yang lalu di ruang kerjanya.
“Tungkaran itu artinya bukan keranda, tapi tempat pangkalan perahu-perahu jukung pada zaman dahulu,” ujarnya.
Salmani mengungkapkan sebelum menjadi Desa Tungkaran yang ramai dengan 8 Rukun Tetangga (RT) seperti sekarang, kampung ini dulu merupakan perkebunan karet milik masyarakat dari desa di sekitar Kampung Keramat.
“Pada zaman dahulu, Desa Tungkaran sekarang masuk dalam daerah yang bernama Karang Tengah, sekarang disebut Cindai Alus. Jadi orang pada zaman dahulu yang punya lahan karet di Karang Tengah untuk menuju tempat ini menggunakan perahu dan kemudian setelah menyadap karet mereka pulang membawa hasil sadapan mereka dalam perahu. Mereka menambatkan perahu berjejer dalam jumlah yang cukup besar, nah tempat mereka menambatkan perahu ini disebut Tungkaran dalam bahasa Banjar menurut penuturan orang tua dulu. Lama kelamaan menjadi kampung tersendiri dengan nama Desa Tungkaran,” tuturnya.
Desa yang memiliki jumlah penduduk kurang lebih 2000 orang ini ujar Salmani merupakan tempat kejadian dalam kisah nyata terkenal asal Martapura, yaitu tempat tragedi nisan berdarah.
“Benar, kata orang tua dahulu disini dulu tempat kejadian kisah nyata nisan berdarah, dimana si gadis bernama Siti Fatimah meninggal karena tertusuk nisan si Mashor. Namun untuk tempat pasti dan kapan kejadiannya kami kurang tahu, tapi terjadi pada zaman Belanda,” ungkapnya.
Selain itu terdapat pula 8 titik makam keramat yang kerap kali diziarahi oleh masyarakat dari Martapura maupun luar daerah.
“Kurang lebih ada 8 titik makam keramat di desa ini dan keberadaannya tersebar, salah satu titiknya adalah makam istri Datu Kalampaian yaitu Datu Bajut serta anak dan menantu Datu Kelampaian yaitu Siti Fatimah dan Syekh Abdul Wahab Bugis yang ada dalam 1 kubah. Dulu ketika Guru Sekumpul masih hidup, beliau sering ke kampung ini untuk berziarah,” jelas Salmani.
Kepala Desa Tungkarang juga membantah bahwa Desa yang memiliki luas wilayah kurang lebih 750 hektar dan berbatasan langsung dengan Desa Sungai Sipai, Desa Cindai Alus, Kampung Keramat, Pekauman dan Pesayangan ini dulunya tempat pembuangan mayat.
“Salah itu, cuma isu saja bahwa Desa kami ini tempat pembuangan mayat. Tapi memang di desa kami ini menjadi tempat pemakaman bagi mayat yang identitasnya tidak dikenal karena pemakaman di desa kami dikelola langsung oleh Pemerintah Daerah,” jelasnya.