TERAS7.COM – Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) selalu menjadi momok bagi masyarakat ketika datangnya musim penghujan setiap tahunnya, jutaan nyamuk Aedes Aegypti yang membawa virus Dengue siap menebar teror ketakutan bagi masyarakat hingga puluhan sampai ratusan orang di setiap daerah terjangkit DBD, beberapa yang tidak beruntung menjadi korban meninggal dunia akibat terlambat ditangani.
Ketika ada beberapa orang warga di suatu kampung yang terkena DBD maka beramai-ramai masyarakat setempat meminta untuk dilaksanakan fogging atau pengasapan untuk membunuh nyamuk, akan tetapi semudah itukah fogging dilaksanakan?
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Banjar, Ikhwansyah saat ditemui di ruang kerjanya pada kamis siang (7/2) menjelaskan bahwa pelaksanaan fogging untuk memberantas nyamuk penyebab DBD tidak bisa dilakukan secara sembarangan, akan tetapi harus memenuhi persyaratan tertentu.
“Perlu diketahui bahwa fogging pada dasarnya hanya mampu membunuh nyamuk dewasa saja, tidak mampu untuk membunuh nyamuk yang masih berupa jentik yang bersarang di penampungan air bersih, karena itu kami melakukan fogging hanya ketika warga yang meminta fogging tersebut sudah melakukan pemberantasan sarang nyamuk, karena tidak ada gunanya bila tidak dilakukan, justru jentik akan tetap tumbuh menjadi nyamuk,” ungkap Ikhwansyah.
Ia menjelaskan pula selama mewabahnya DBD sejak akhir tahun 2018 hingga awal tahun 2019 ini Dinkes sudah melakukan fogging hampir ke seluruh wilayah yang ada di Kabupaten Banjar yang warganya terkena DBD.
“Bahkan hampir-hampir petugas kami di lapangan tidak pernah libur di akhir pekan hanya untuk melakukan fogging di seluruh wilayah di Kabupaten Banjar yang ada warganya mengalami DBD,” ujarnya..
Ikhwansyah menjelaskan bahwa pelaksanaan fogging di suatu wilayah hanya dilakukan apabila telah ada hasil penelitian dari Dinkes yang menyatakan daerah tersebut harus dilakukan fogging.
“Banyak masyarakat yang bertanya, ada sebuah daerah yang warganya terkena DBD, tapi kenapa tidak dilakukan fogging di sana. Tim kami yang menyelidiki DBD di lapangan ketika mendapat laporan DBD akan bergerak cepat, kami telusuri dulu rekam jejak si pasien, misalnya anak-anak, kami cek dulu lingkungan seperti sekolah, kalau negatif maka kami cek di lingkungan pemukiman, kalau positif akan kami lakukan fogging, jadi tidak bisa sembarangan,” jelasnya.
Luas wilayah pelaksanaan fogging pun tergantung pada jangkauan hidup nyamuk Aedes Aegypti yang hanya mampu terbang sejauh 100-200 meter saja.
“Fogging hanya dilakukan dalam radius 100 meter dari titik di mana tim kami menemukan tempat nyamuk penyebab DBD bersarang, jadi 100 meter ke kiri kanan dan depan belakang. Makanya banyak warga yang mengeluh kenapa tempat kami tidak di fogging, walaupun ada yang terkena DBD tapi bukan berarti menjadi sumber penyakit DBD,” tambah Ikhwansyah.
Untuk memaksimalkan pemberantasan nyamuk Aedes Aegypti, Ia meminta agar masyarakat tetap melakukan aksi bersih-bersih lingkungan dan memberantas jentik yang ada di sekitarnya selain dengan meminta fogging.
“Ada masyarakat yang minta tolong foggingkan, tapi ketika fogging dilakukan, di depan rumahnya ada ban mobil bertumpuk dan didalamnya tergenang air, ketika digoyang langsung nyamuk beterbangan, artinya kan masyarakat belum melaksanakan pemberantasan jentik, karena itu kami meminta agar masyarakat perduli dengan hal ini,” harap Ikhwansyah.
Berdasarkan informasi yang dikutip dari situs Dinkes Kabupaten Banjar, pelaksanaan fogging sendiri hanya dilaksanakan jika ditemukan DBD dengan dukungan hasil data laboratorium di wilayah tersebut, maka dilakukan tindakan Penyelidikan Epidemiologi (PE), dimana dari Hasil Penyelidikan Epidemilogi tersebut apabila ditemukan jentik nyamuk DBD lebih dari 5% di seluruh rumah yang diperiksa oleh petugas puskesmas maka baru akan dilaksanakan fogging.