TERAS7.COM – Pemuda menjadi magnet kuat dalam dunia perpolitikan tanah air belakangan ini. Misalnya di Pilpres 2024 lalu, Gibran Rakabuming Raka berhasil meraup suara terbanyak bersama pasangannya Prabowo Subianto.
Tren pemuda terjun ke perpolitikan ini tak hanya terjadi di Nasional saja, misalnya di Banjarbaru, caleg milenial berhasil meraih kursi parlemen, bahkan suaranya mampu menggagalkan petahana untuk kembali naik.
Secara data pun, Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024, sekitar 60 persen dari total DPT datang dari pemilih milenial dan Gen Z. Wajar bila Pemilu 2024 ini dimanfaatkan para generasi muda.
Lalu seberapa besar potensi kalangan generasi muda bisa menjadi pemimpin di Banjarbaru pada Pilkada 2024 nanti?
Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lambung Mangkurat (FISIP ULM), Dr. Muhammad Alif mengatakan, peluang kalangan muda untuk menjadi pemimpin di Banjarbaru sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pendidikan, pengalaman, dan dukungan dari masyarakat.
Menurut Dr Muhammad Alif, saat ini kesadaran masyarakat akan pentingnya prespektif dan energi baru sudah mulai terbentuk.
Sehingga kata Dr Muhammad Alif, hal itu lah yang membuka peluang anak muda bisa menjadi pemimpin di Banjarbaru, yang notabene diisi masyarakat heterogen.
“Selain itu, dengan visi misi yang segar, kreativitas, dan kemampuan beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan, kalangan muda dapat menarik perhatian dan dukungan luas dari warga Banjarbaru, memungkinkan mereka untuk menjadi pemimpin yang efektif dan berpengaruh dalam mengemban tanggung jawab pemerintahan,” ujarnya, Selasa (30/04/2024).
Menurut dosen Ilmu Komunikasi FISIP ULM yang juga warga Kota Banjarbaru ini, kalangan muda yang ingin menjadi pemimpin di Kota Idaman dihadapi berbagai tantangan unik.
Misalnya yang pertama, adalah persaingan dengan kalangan yang sudah mapan dan memiliki pengalaman yang luas dalam politik lokal.
“Ini bisa menjadi tantangan besar bagi mereka yang mungkin kurang memiliki jaringan atau pengalaman yang sama,” cetusnya.
Kedua, adalah persepsi masyarakat terhadap kepemimpinan muda, karena beberapa masyarakat mungkin lebih memilih pemimpin yang sudah berusia karena dianggap lebih stabil dan berpengalaman.
Ketiga, adalah infrastruktur politik yang mungkin belum mendukung pertumbuhan karier politik bagi kalangan muda.
Terakhir, adalah tantangan dalam memperoleh sumber daya dan dukungan finansial untuk kampanye.
Menurutnya, hal ini seringkali menjadi hambatan besar bagi calon pemimpin muda yang belum memiliki akses ke jaringan yang kuat.
“Meskipun tantangan ini nyata, kalangan muda juga memiliki kesempatan untuk membawa perspektif baru, energi, dan inovasi ke dalam politik lokal, yang bisa menjadi nilai tambah bagi masyarakat dan kemajuan daerah,” beber Alif.
Untuk merebut hati warga masyarakat dalam kontestasi pemilihan umum (Pemilu) daerah menjadi walikota, Alif menuturkan bahwa kalangan muda perlu menonjolkan beberapa nilai jual yang relevan dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Misalnya yang pertama, menurutnya anak muda harus memiliki visi yang jelas dan inovatif mengenai pembangunan kota yang inklusif, berkelanjutan, dan progresif.
Kedua, kemampuan untuk mendengarkan dan merespons secara aktif terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat setempat, serta menawarkan solusi-solusi yang kreatif dan praktis. Ketiga, integritas dan transparansi dalam kepemimpinan, dengan komitmen untuk memerangi korupsi dan meningkatkan akuntabilitas pemerintahan.
Keempat, keterlibatan aktif dalam membangun komunitas dan memperjuangkan kepentingan serta aspirasi warga, baik melalui program-program sosial, kegiatan-kegiatan partisipatif, maupun advokasi atas hak-hak masyarakat.
Kelima, penggunaan teknologi dan media sosial secara cerdas untuk memperluas jangkauan kampanye, berkomunikasi dengan efektif, dan melibatkan generasi muda secara luas dalam proses demokrasi lokal.
“Dengan mengedepankan nilai-nilai ini, kalangan muda memiliki peluang besar untuk meraih dukungan masyarakat dalam kontestasi pemilihan walikota,” pungkasnya.