Gara-gara status seorang kawan yang menyoal tentang kepemimpinan, membuat rasa penasaran menyeruak, lalu membuka kamus Oxford yang sudah lama diam menyendiri di rak buku.
Definisi leadership sangatlah singkat diuraikan di situ, yaitu posisi dan kualitas seorang pemimpin. Sebagai keterangan tambahan bahwa kepemimpinan adalah kata benda yang tidak dapat dihitung.
Ingatan saya kembali ke duapuluh tahun silam, saat saya konsultasi dengan dosen pembimbing tentang definisi kepemimpinan yang akan digunakan sebagai salah satu faktor dalam penelitian akhir.
Hal yang teringat adalah ucapan beliau, bahwa kepemimpinan adalah hal yang agak rumit untuk dikuantifikasi, juga perlu waktu yang cukup lama untuk diteliti serta memerlukan indikator yang harus dipilih dengan cermat dan hati-hati.
Itu artinya, kata itu tidaklah sesederhana yang saya pikirkan di awal konsultasi. Walaupun begitu, mari kita coba untuk membuat pengertian itu lebih sederhana.
Kata dasar dari kepemimpinan sendiri adalah memimpin yang merupakan sebuah kata kerja. Secara ringkas bisa disimpulkan bahwa satu-satunya cara untuk melihat bagaimana kepemimpinan seseorang adalah dengan cara melihat hasil kerjanya dalam jangka waktu yang sangat relatif.
Makanya mungkin dengan logika tersebut, maka di pemerintahan sering ada evaluasi kepemimpinan seorang kepala daerah, atau bahkan negara.
Acuannya tentu saja berdasarkan evaluasi hasil perencanaan pembangunan dan pelunasan berbagai janji yang biasanya disampaikan di awal menjabat.
Pendapat Peter G. Northouse di tahun 2004 rasanya cukup mewakili tentang kepemimpinan, yang diuraikan sebagai sebuah proses seseorang dalam mempengaruhi orang lain dalam sebuah kelompok untuk mencapai suatu tujuan.
Dari kalimat sederhana itu bisa dilihat bahwa pemimpin terkait dengan beberapa kata kunci lainnya, yaitu proses, pengikut, pengaruh dan tujuan.
Bisa dibayangkan, bagaimana sulitnya menilai kepemimpinan seseorang secara objektif jika berdasarkan empat bagian utama tersebut, terutama bagaimana proses mempengaruhi pengikutnya agar tujuan dicapai, apalagi dalam jangka waktu yang relatif singkat.
Sekali lagi, satu-satunya cara yang paling mudah adalah dengan melihat kinerjanya dalam memenuhi apa yang diperlukan oleh objek kepemimpinannya, untuk tingkat kepala daerah tentu saja dilihat dari seberapa banyak keperluan masyarakat bisa terpenuhi sesuai standar yang telah ditetapkan.
Akan tetapi nyatanya jikalau dikembalikan pada makna kepemimpinan, kita tetap tidak akan bisa mengukur sejauh mana nilai-nilai kepemimpinan seseorang terwujud.
Karena kalau cuma sebatas mempengaruhi orang lain, tentu tidak semua orang yakin akan kemampuannya, tidak semua orang akan bisa dipengaruhi jadi pengikutnya.
Lebih ringkas lagi, pemikiran Ki Hadjar Dewantara sebenarnya bagus untuk menggambarkan hakikat dari kepemimpinan.
Tiga kalimat utama dari beliau yaitu : ing ngarso sung tulodo yang artinya saat berada di depan, seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan.
Lalu ing madyo mangun karso, artinya mampu membangkitkan niat dan kemauan kala berada di tengah pengikutnya.
Kalimat terakhir adalah tut wuri handayani, yaitu kemampuan memberikan dorongan moral dan semangat untuk mewujudkan tujuan dari belakang.
Maka dari itu, sedikit lebih mudah melihat sebuah proses kepemimpinan di dalam sebuah kelas di sekolah, di saat seorang guru mampu mengajarkan nilai-nilai suatu materi saat berada di depan, kemudian mampu berbaur dengan murid-muridnya dalam memecahkan sebuah masalah dalam pelajaran dan selalu berusaha memberikan semangat dan meyakinkan kalau proses pembelajaran akan bisa dilampaui sampai nanti ujian akhir tiba.
Dalam skala demikian, kepemimpinan akan terlihat dari bagaimana muridnya memandang gurunya dalam mengawal mereka sedari awal masa pelajaran dimulai, sampai nanti ujian mata pelajaran usai.
Guru yang baik akan membuat murid menjalani proses belajar dengan nyaman, mudah menyerap apa yang diajarkan dan tidak menganggap ujian sebagai beban, dan itu artinya semua unsur kepemimpinan yaitu, proses, pengaruh, pengikut dan pencapaian tujuan sudah dapat terpenuhi.
Hal ini bisa didapatkan jika dilakukan evaluasi yang objektif, walaupun tentu berdasarkan persepsi murid selaku pengikut.
Jikalau demikian, jika ada yang bertanya sebenarnya bisakah kepemimpinan seseorang diukur dalam skala yang lebih besar, misalkan dalam sebuah institusi, atau mungkin dalam sebuah wilayah tertentu.
Mari sesekali balik bertanya, tujuannya untuk apa?
Jika sekedar ingin mengukur sejauhmana efektifitas seorang pemimpin dalam mencapai tujuannya, adalah memungkinkan, tapi itupun sekali lagi hanya berdasarkan sejauh mana kinerjanya, itu artinya membandingkan apa yang direncanakan di awal memimpin dengan apa yang dihasilkan di akhir selama periode kepemimpinannya, tentu terlepas dari bagaimana gayanya selama memimpin, itu beda hal lagi.
Tetapi jika ingin melihat gambaran kepemimpinan seseorang secara menyeluruh, tentu saja akan sulit karena terkait dengan proses penanaman nilai-nilai ke pengikutnya yang memerlukan waktu yang tidak singkat.
Sedikit agak gampang sebenarnya cukup dengan kalimat klasik walau tentu saja tidak begitu objektif, yaitu : biarkan masyarakat atau orang lain yang menilai.
Jadi, masih ingin mengukur kepemimpinan seseorang?.
Penulis : Dr. Rd. Sya’rani.
PNS di Kabupaten Banjar