TERAS7.COM – Kota Banjarbaru pada era tahun 1964 an adalah sebuah Kota Kecamatan yang sarat dengan dinamika.
Sebelum jadi kota “metropolitan” sementereng saat ini, pada era itu sudah muncul tuntutan masyarakat Kewedanaan Berangas dan Kecamatan Banjarbaru agar daerahnya bisa naik status menjadi Daswati II dan Kotapraja tingkat II Banjarbaru.
Dalam perkembangan yang dinamis inilah, pemuda Banjarbaru disusupi pemikiran berhaluan komunis (pro) maupun anti komunis.
Hal ini diungkapkan Dosen PSP Sejarah FKIP ULM Banjarmasin, Mansyur melalui salah satu tulisannya yang diterima Teras7.com beberapa waktu yang lalu.
Aksi pemuda pro komunis kata Ketua LKS2B Kalimantan dan Tim Riset LAKPL Kalsel ini lebih banyak terjadi sebelum peristiwa G30S/PKI.
“Ketika itu muncul Resolusi Pemuda Rakyat Banjarbaru No. R/65/2 yang dikeluarkan tahun 1965 tanggal 25 Juli 1965 antara lain berisi menuntut pembubaran Partai Murba, dan emudian Nasakomisasi untuk Aparatur Negara,” ungkapnya.
Selain itu Pemuda Banjarbaru yang pro Komunis tadi menuntut retooling Aparatur Negara dari atau sampai ke tingkat bawah dan melaksanakan Pemilihan Umum.
“Pemuda Banjarbaru juga mendukung Musyawarah Besar Tani, untuk melancarkan pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-undang Pokok Bagi Hasil (UUPHB). Tidak hanya itu, tetapi juga muncul tuntutan men-nasakom-kan Wakil Gubernur, Wakil Ketua DPRD-GR Tk. I dan TK. II dan anggota-anggota BPH Tk. II se Kalimantan Selatan,” tambah Mansyur.
Sementara aksi pemuda Banjarbaru anti komunis muncul pasca peristiwa G30S/PKI, yang memunculkan dinamika lain ketika kondisi berbalik.
“Pada tanggal 12 Februari 1966 demonstrasi dilanjutkan lagi secara lebih meluas dengan dukungan pemuda dan mahasiswa dari Banjarbaru yaitu aksi cotar-coret terhadap rumah dan toko milik orang tionghoa dengan tulisan-tulisan ‘Usir warga RRC; Ganyang PKI,’ dan sebagainya,” ujarnya.
Saat itu menurut anggota Tim Ahli Cagar Budaya Banjarmasin ini, pemilik toko cat membuka tokonya dan mempersilahkan kepada demonstran untuk mengambil cat guna keperluan aksi tersebut.
Apalagi setelah tanggal 26 Februari 1966, Presiden Soekarno membubarkan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).
“Dengan Keputusan Presiden tentang pembubaran KAMI tersebut, maka secara de jure KAMI tidak bisa bergerak seperti biasa. Sebagai tindakan strategik kemudian aktivis-aktivis KAMI berintegrasi ke dalam KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia),” terang Mansyur
Tercatat aktivis KAMI di Banjarbaru adalah Mulyadi Yusuf (PMII), Ismet Inonu (GMNI), Addi Maswardi (APDN) serta Rachmadi.
“Dengan adanya kekompakan antara mahasiswa, pelajar, pemuda, masyarakat dan ABRI maka dalam waktu singkat kekuatan PKI/Ormasnya di Kalimantan Selatan dapat dilumpuhkan,” sambungnya.
Walaupun demikian ternyata tambah Mansyur, masih ada sentra-sentra yang dicurigai disusupi oleh oknum PKI, terutama di daerah Banjarbaru sebagai tempat konsolidasi mereka.
Hal ini dimungkinkan karena di Kota Banjarbaru sendiri terpusat proyek-proyek besar bantuan Rusia yaitu Proyek Besi Baja Kalimantan, Proyek Jalan Kalimantan dan Landasan Udara Ulin.
“Para karyawan dikedua proyek tadi sangat aktif dan mengikuti latihan kemiliteran dalam Kesatuan Pertahanan Sipil dengan pakaian dan perlengkapan yang lebih baik dari anggota Pertahanan Sipil lainnya,” kata Mansyur.
Pada era itu, di Banjarbaru gerakan pemuda yang sangat aktif untuk melawan pemuda pro Komunis adalah Gerakan Pemuda Anshor (G.P. Anshor) Wilayah Kalimantan Selatan dengan Ketuanya Said Hasyim.
Koordinasi pengamanan daerah Banjarbaru-Martapura telah dibina dengan efektif antara G.P. Anshor Wilayah Kalimantan Selatan dengan Resimen Brigade Mobil (Brimob) yang dipimpin Letkol Aruman Wirananggapati.
“Malah satuan Brimob meminjamkan beberapa pucuk senapan kepada G.P. Anshor Wilayah Kalimantan Selatan di Banjarbaru,” ungkap Mansyur.
Sampai akhir November 1965, di Banjarbaru seperti di Kampung Mentaos belakang asrama APDN dan Kampung Sumberdadi atau sekarang sungai belakang Pasar Banjarbaru masih terdengar yel-yel dari orang-orang PKI seperti “Hidup Pancasila, Hidup Pancasila!” diiringi pula oleh lagu Genjer-Genjer dan lagu Darah Rakyat antara lain berbunyi “Darah rakyat masih berjalan, Menderita sakit dan miskin, Akan tiba masa pembalasan, Rakyat yang menjadi hakim.”
“Kondisi ini disinyalir karena lokasi Kampung Sumberdadi sangat dekat dengan Asrama Akademi Pemerintahan Dalam Negeri, yang menurut orang-orang PKI itu dicetak kader-kader birokrat borjuis yang dikenal mereka dengan istilah setan-kota,” bebernya.
Karena itulah para mahasiswa APDN yang tinggal di asrama menggabungkan diri pada Posko Piket G.P. Anshor di rumah Said Hasyim.
Begitu juga dengan mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat dipimpin Mulyadi Yusuf (PMII) dan Ismet Ahmad (GMNI) bersama-sama dengan mahasiswa APDN tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).