TERAS7.COM – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan Syairi Mukhlis, S.Sos memimpin Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan sejumlah perwakilan persatuan Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer Non Kategori (GTKHNK) di ruang rapat komisi gabungan DPRD, Senin (29/01/24).
“Hari ini kami, pimpinan dan anggota DPRD Kotabaru yang berhadir menindaklanjuti aspirasi tenaga kependidikan guru honorer di Kabupaten Kotabaru,” kata Syairi Mukhlis.
Syairi mengatakan, keluhan dan kekhawatiran para Guru Honorer cukup beralasan dikarenakan pendataan batas akhir oleh pemerintah pusat di bulan Januari 2024, sehingga mereka mempertanyakan masalah tersebut.
“Mereka juga menyampaikan terkait simpang siur informasi berita tentang terkaitnya undang undang 20 tahun 2023 tentang ASN,” ujarnya
Lebih lanjut dikatakan, bahwasanya jumlah tenaga Guru Honorer di Kabupaten Kotabaru yang sudah di sampaikan berjumlah kurang lebih 1.855 orang.
“Ini adalah data kebutuhan daerah terkait buruh, kemudian tentu mereka memohon penjelasan kepastian, berdasarkan undang-undang kita sebutkan tadi bahwa di bulan nanti Desember 2024 bahwa istilahnya tidak ada lagi honorer dan sebagainya, yang ada adalah pegawai ASN. Dan yang nantinya mereka akan diangkat menjadi pegawai kontrak atau PPPK,” jelasnya.
Dasar-dasar pengangkatan mereka harus dipenuhi, minimalnya mereka sudah masuk data base nya yang divalidasi oleh BPKP dan BKN RI pusat.
“Tadi disampaikan formasi yang diajukan untuk guru dan untuk tenaga teknis belum tau karena tidak disampaikan ke kita dari BKPSDM kita juga menunggu informasi itu,” katanya.
Menanggapi hal tersebut, Ketua PGRI GTKHNK Aliansyah mengatakan, tujuan untuk melakukan RDP ingin melihat sejauh mana proses rekrutmen dalam data base dari Dinas Pendidikan agar semua guru yang memiliki standar dan kelayakan dapat terakomodir di sistem penerimaan tenaga guru.
“Kami di sini menanyakan komitmen baik dengan DPRD maupun dari Dinas Pendidikan terhadap nasib kami saat ini,” kata Aliansyah.
Ia juga mengungkapkan, bahwa sistem penerimaan diduga syarat dengan kepentingan tertentu, sehingga timbul pertanyaan-pertanyaan yang simpang siur.
“Menurut kami, ada satu ketidakadilan yang sangat nyata dalam sistem seleksi,” tandas Aliansyah.