TERAS7.COM – Perang Banjar adalah salah satu perang perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Belanda yang ada di Indonesia.
Perang yang berlangsung pada tahun 1859 hingga 1906, atau menurut versi Belanda berlangsung pada 1859-1863 ini terjadi di Kesultanan Banjar, yakni Provinsi Kalimantan Selatan sekarang.
Dalam perang tersebut, banyak tokoh yang menjadi sentral perlawanan seperti Pangeran Antasari, Demang Lehman, Tumenggung Jalil dan lain-lain.
Namun seluruh tokoh perjuangan tersebut dipimpin langsung oleh Pangeran Hidayatullah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman atau kemudian disebut sebagai Sultan Hidayatullah Halil Illah II.
Bahkan dalam catatan Belanda, seperti dalam buku Der Bandjermasinsche Krijg Van 1859-1863 yang ditulis Willem Adriaan Van Rees, Pangeran Hidayatullah disebut sebagai Hoofd Opstandeling yang berarti Kepala Pemberontak.
Berbeda dengan Pangeran Antasari yang sudah berstatus sebagai Pahlawan Nasional, justru Pangeran Hidayatullah sebagai tokoh sentral dalam Perang Banjar belum diakui statusnya.
Bahkan pengajuan gelar pahlawan nasional untuk Pangeran Hidayatullah pada tahun 1991 sempat ditolak karena dianggap menyerah kepada Kekuasaan Kolonial Belanda.
Lalu bagaimana kisah hidup Pangeran Hidayatullah, sang pemimpin Perang Banjar yang pecahnya pada 18 April 1859 dengan penyerbuan ke Tambang Batu Bara Oranje Nassau di Pengaron ini?
Pangeran Hidayatullah yang bergelar Sultan Hidajat Oellah Halil Illah atau disebut juga Hidayatullah II ini lahir di Martapura, ibukota Kabupaten Banjar sekarang pada tahun 1822.
Ia adalah putra dari Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah dan Ratu Siti binti Pangeran Mangkubumi Nata.
Sebagai seorang yang mewarisi darah bangsawan keraton Banjar dari ayah maupun ibu, Pangeran Hidayatullah menurut adat keraton Banjar menjadi kandidat utama sebagai Sultan Banjar.
Bahkan pada Surat Wasiat Sultan Adam bertanggal 12 bulan Shofar 1259 Hijriyah atau sekitar tahun 1843 Masehi, ia diwasiatkan untuk menjadi Raja Banjar menggantikan ayahnya nanti.
Menurut Keturunan keempat Pangeran Hidayatulah, Pangeran Yusuf Isnendar Cevi saat ditemui dikediamannya di Cikampek, Jawa Barat pada 4 November 2021 yang lalu, Pangeran Hidayatullah menerima pendidikan yang cukup baik pada masa kecilnya.
Diantara beberapa pendidikan yang ia terima di lingkungan Keraton Banjar adalah ilmu agama Islam dari anak-cucu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang saat itu cukup banyak penjadi alim ulama di Kesultanan Banjar.
“Nanti ilmu agama yang beliau kuasai ini akan beliau sebarkan saat beliau diasingkan di Cianjur,” katanya.
Pangeran Hidayatullah sendiri memiliki banyak saudara, diantaranya yang terkenal adalah Pangeran Tamjidillah yang kemudian hari dikenal sebagai Sultan Tamjidillah II yang merupakan saudara seayahnya.
Sementara saudara seayah-seibu Pangeran Hidayatullah adalah Ratu Syarif Umar yang kemudian menjadi isteri Pangeran Syarif Umar dan Ratu Rampit/Ratu Jaya Kasuma yang kemudian menjadi isteri Pangeran Jaya Kasuma/Raden Tuyong.
Pada tanggal 5 Maret 1852, Sultan Muda Abdurrahman ayah Pangeran Hidayatullah mangkat sebelum naik tahta dan menimbulkan krisis suksesi, terlebih sebelumnya Mangkubumi Kesultanan Banjar yakni Pangeran Mangkubumi Nata juga meninggal dunia.
Puncak krisis suksesi ini mencapai puncak dengan mangkatnya Sultan Adam Al Watsiqbillah pada 1 November 1857 karena sakit.
Tanpa sepengetahuan Dewan Mahkota, 2 hari setelah pemakaman Sultan Adam justru Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah yang beribu selir menjadi Sultan Banjar, bukan Pangeran Hidayatullah.
Namun Belanda tetap menempatkan Pangeran Hidayatullah sebagai Mangkubumi Kesultanan Banjar, walaupun hal ini bertentangan Para ulama dan Bangsawan Banjar yang berpegang pada Wasiat Sultan Adam.
Hal inilah yang dilakukan oleh Belanda untuk meredam pergolakan di Kesultanan Banjar atas tersingkirnya Pangeran Hidayatullah dari tahta Kesultanan.
Tetapi hal tersebut tetap tak mampu meredam pergolakan hingga pada 18 April 1859 terjadi penyerangan terhadap tambang batu bara Oranje Nassau milik Belanda dipimpin oleh Pangeran Antasari, Pembekal Ali Akbar, Mantri Temeng Yuda Panakawan atas persetujuan Mangkubumi Pangeran Hidayatulah.
Peristiwa penyerangan tambang batu bara Oranje Nassau ini menjadi titik awal terjadinya Perang Banjar yang akan berakhir puluhan tahun kemudian.
Dalam perang ini, strategi yang dimainkan Pangeran Hidayat terbukti sangat merepotkan Belanda dalam Perang Banjar, apalagi didukung panglima tangguh dan prajurit yang setia, seperti Pangeran Antasari dan Demang Lehman.
Juga berkecamuknya Perang Banjar pada September 1859, Pangeran Hidayatullah dinobatkan oleh rakyat Banua Lima sebagai Sultan Banjar.
Perlawanan rakyat yang semakin hebat dalam Perang Banjar ini membuat Belanda melakukan berbagai cara untuk memulihkan keadaan.
Diantaranya pada 25 Juni 1859, Belanda memakzulkan Tamjidillah II sebagai Sultan Banjar kemudian mengirimnya ke Buitenzorg atau Kota Bogor sekarang, karena dinilai penyerangan tambang batubara mereka berkaitan dengan kekuasaan di Kesultanan Banjar.
Kemudian siasat yang dilakukan Panglima Perang Belanda saat itu, Kolonel A.J. Andresen untuk memadamkan Perang Banjar adalah dengan menempatkan Sultan Hidayatullah sebagai Sultan Banjar sesuai surat wasiat Sultan Adam.
Akan tetapi pengangkatan oleh Belanda ini ditolak mentah-mentah oleh seluruh ulama, bangsawan maupun rakyat Banjar yang telah mengangkat Pangeran Hidayatullah sebagai Sultan Banjar.
Akhirnya pada 5 Februari 1860, Belanda mengumumkan penghapusan jabatan Mangkubumi Pangeran Hidayat dan kemudian pada tanggal 11 Juni 1860, Residen I.N. Nieuwen Huyzen mengumumkan penghapusan Kesultanan Banjar.
Selanjutnya pada 10 Desember 1860, Pangeran Hidayatullah melantik Gamar dengan gelar Tumenggung Cakra Yuda untuk mengadakan perang Sabil terhadap Belanda.
Dalam bulan Juni 1861, Pangeran Hidayatullah berada di Gunung Pamaton dan mendirikan benteng pertahanan bersama rakyat sebagai usaha mencegah serangan Belanda yang akan menangkapnya.
Saat berada di Benteng Pamaton ini, Pangeran Hidayatullah mempersiapkan rencana serangan umum terhadap kota Martapura yang didukung para penghulu dan alim ulama akan mengerahkan seluruh rakyat melakukan jihad perang sambil mengusir Belanda dari bumi Banjar.
Sayangnya serangan umum yang direncanakan dilakukan pada tanggal 20 Juni 1861 itu bocor ke tangan Belanda yang kemudian secara tiba-tiba menyerang benteng Gunung Pamaton tempat pertahanan Sultan Hidayatullah.
Akan tetapi serangan Belanda itu dapat digagalkan dengan banyak membawa korban di pihak Belanda.
Tak hanya sekali, Belanda melakukan penyerangan ke Benteng Pamaton beberapa kali namun gagal menghancurkan pertahanan Pangeran Hidayatullah.
Belanda juga menghadapi pertempuran di beberapa daerah di sekitar Martapura, bahkan Martapura pun sempat diserang Tumenggung Gamar namun tidak berhasil karena Belanda telah mempersiapkan pertahanan yang lebih kuat.
Dalam usaha menangkap Pangeran Hidayatullah, selain menyerang Benteng Gunung Pamaton, pasukan Belanda juga membakar rumah-rumah penduduk, membinasakan kebun-kebun dan menangkapi penduduk, sehingga penjara Martapura penuh sesak.
Untuk mempersempit gerak Pangeran Hidayatullah, Belanda juga menghancurkan semua ladang, lumbung padi rakyat, hutan-hutan, dengan harapan menghancurkan persediaan bahan makanan, dan menghancurkan hutan-hutan yang dapat dijadikan benteng pertahanan.
Akhirnya dengan melakukan tipu muslihat dan menyandera ibunya, Belanda berhasil menangkap Pangeran Hidayatullah pada 2 Maret 1862 dibawa dari Martapura dan diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat.
Strategi yang dipakai Belanda untuk menangkap Pangeran Hidayatullah sendiri hampir sama dengan strategi tipu muslihat yang dilakukan kepada Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro.
Peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Kalimantan Selatan Wajidi juga membenarkan Pangeran Hidayatullah ditangkap.
“Berdasarkan tulisan dari Belanda sendiri, mereka mengatakan Pangeran Hidayatullah ditangkap dengan cara tipu daya,” ungkapnya.
Akibat dampak penangkapan Pangeran Hidayatullah dengan trik kotor ini, Pemerintah Belanda sendiri sampai memberhentikan pejabatnya yang terlibat dalam kejadian tersebut.
Tindakan tersebut lanjut Wajidi diambil Kolonial Belanda karena tindakan tersebut melanggar hukum perang dan juga membuat pemerintah Belanda menjadi olok-olokan bangsa Eropa yang lain.
Kemudian Pangeran Hidayatullah bersama keluarga dan pengikutnya sebanyak 40 orang berangkat ke Jawa sehari kemudian pada 3 Maret 1862 menggunakan Kapal Perang milik Belanda.
Di Cianjur Jawa Barat, Pangeran Hidayatullah ditempatkan di Tangsi Militer Belanda di Desa Sawah Gede Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
“Kemudian baru beliau bermukin di Kampung Banjar, Cianjur. Berdasar cerita turun temurun yang kami dapat, datuk kami Pangeran Hidayatullah itu berstatus tahanan Belanda, bukan orang yang menyerah,” kata Pangeran Yusuf Isnendar Cevi.
Selama berada di daerah pengasingan, Pangeran Hidayatullah aktif menyebarkan ilmu agama islam di tempat pengasingan.
Sehingga oleh masyarakat Cianjur dan sekitarnya saat itu, Pangeran Hidayatullah di tempat pengasingan dikenal dengan sebutan Ulama Besar Berjubah Kuning, karena saat Pangeran Hidayatullah saat ke Masjid Agung maupun saat berdakwah, hampir selalu menggunakan pakaian jubah berwarna kuning.
“Ada beberapa pesantren di Cianjur yang berdiri di masa beliau dan tetap eksis hingga saat ini. Di Cianjur, Pangeran Hidayatullah berperan dalam meningkatkan taraf pendidikan masyarakat,” sebut Pangeran Yusuf Isnendar Cevi.
Setelah tinggal di pengasingan selama kurang lebih 42 tahun, Pangeran Hidayatullah wafat pada 24 November 1904 dalam usia 82 tahun dan dimakamkan ditempat pengasingan.
Berkat jasa-jasa kepada bangsa dan negara, pada tahun 1999 pemerintah Republik Indonesia telah menganugerahkan kepadanya Bintang Mahaputera Utama.