TERAS7.COM – Kecamatan Martapura tak hanya memiliki potensi perikanan, pertanian juga menjadi salah satu potensi daerah, salah satunya pertanian sayur-sayuran.
Pertanian sayur-sayuran yang berada di Kabupaten Banjar ini walaupun belum menyumbang potensi yang besar, tapi dapat menjadi sumber kehidupan bagi para petani..
Seperti Misdiono (30), petani Desa Tungkaran yang menanam sayur-sayuran seperti kacang panjang, terong, timun dan bilungka.
Ia mengungkapkan menanam sayur-sayuran ini menjadi salah satu sumber utama pendapatan keluarganya.
“Lahan yang saya tanami ini tidak terlalu luas, sekitar 19 borongan dan meminjam tanah milik orang lain. Lahan ini saya kerjakan bersama bapak saya. Hasil produksi pertanian saya ini dijual ke wilayah sekitar Martapura saja,” ujarnya.
Keuntungan yang didapat dari usaha pertanian ini pun ujar Misdiono lumayan cukup untuk keperluan keluarga.
“Biaya tanam di lahan yang saya garap ini rata-rata 1 juta rupiah, termasuk bibit dan pupuk. Sementara keuntungan yang didapat setelah panen bisa mencapai 1,5 juta rupiah. Jadi untung bersihnya 500 ribu. Itu pun kalau harga hasil panen seperti kacang panjang dihargai 3.000 rupiah. Kalau pasar sedang banjir hasil pertanian dari yang lain harga bisa anjlok sampai 1.000 rupiah. Kalau pasar sedang kosong bisa mencapai harga 10.000 rupiah, tapi sangat jarang terjadi,” ungkapnya.
Sayangnya, Ia mengatakan belum ada perhatian dari pemerintah untuk petani sayur seperti dirinya seperti pupuk yang mahal.
“Yang pasti harga pupuk yang masih mahal, kadang tidak sebanding dengan hasil penjualan panen yang masih tidak tentu. Biaya perawatan seperti pembasmian hama dan rumput yang masih tinggi. Juga kami dilepas untuk bertani sendiri, kalau dulu pernah ada penyuluh, sekarang sudah tidak ada lagi. Selain itu banyak tanah yang dijual dan dikaplingkan untuk perumahan sehingga lahan semakin menyempit,” tutur Misdiono.
Ia hanya berharap agar harga pupuk dapat ditekan sehingga kesejahteraan bagi petani seperti dirinya bisa tercapai.
Tak hanya di Desa Tungkarang, petani yang ada di Desa Cindai Alus juga mengeluh, salah satunya adalah Ma’ruful Qodri (51) yang menanam cabai dan singkong.
Ia mengungkapkan bahwa selama menggarap lahan yang dipinjamnya dari warga sekitar, belum ada perhatian dari penyuluh pertanian.
“Saya menanam cabai dan singkong ini sebagai penghasilan utama. Kalau masalah untungnya ya dicukup-cukupkanlah, yang pasti sudah balik modal. Seperti cabai, walaupun tidak luas tapi setiap kali panen langsung habis dibeli oleh pengepul. Penghasilan seminggu rata-rata 500-600 ribu,” jelasnya.
Walau mengaku untung, tak jarang terjadi kendala dan gangguan dalam usaha pertaniannya, terutama pada lahan cabai yang ia garap.
“Kendala yang saya hadapi seperti keterlambatan beli obat untuk mencegah cabai terkena penyakit. Karena uang untuk membeli obat kadang belum saya dapat, akibatnya cabai keburu kena penyakit. Kendalanya utamanya soal modal,” ungkap Ma’ruful Qodri.
Ia pernah menanyakan aplikasi obat untuk penyakit cabai tersebut ke penyuluh pertanian, sayangnya ujarnya pihak penyuluh pertaniannya tidak tahu.
“Saya pernah tanya ke penyuluh pertanian, ternyata mereka tak tahu. Jadi saya bingung sendiri. Akhirnya saya kerjakan dengan inisiatif sendiri walau terjadi kendala, pelan-pelan bisa diatasi,” katanya.
Ia berharap agar pemerintah dapat memperhatikan petani sepertinya, terutama untuk mencegah terjangkitnya penyakit di tanaman.
“Saya cuma meminta agar pemerintah dapat memberikan bantuan seperti pupuk dan ketersediaan obat-obatan saja, karena modal saya yang terbatas,” pintanya.