TERAS7.COM – Pemerintah resmi menamai calon ibu kota negara baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur sebagai “Nusantara”.
Hal ini sendiri merujuk pada disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi Undang-Undang Ibukota Negara pada 18 Januari 2022 yang lalu.
Pemilihan nama Nusantara sendiri sempat menimbulkan polemik, karena dinilai sangat Jawa Sentris, merujuk pada Sumpah Palapa yang diucapkan Patih Majapahit Gajah Mada.
Namun hal tersebut dibantah oleh salah satu Sejarawan asal Kalimantan Timur, Muhammad Sarip.
Dikutip dari kaltimkece.id, Muhammad Sarip menilai bahwa nama Nusantara dipandang ideal karena merepresentasikan seluruh Indonesia, bahkan menurutnya nama tersebut punya relevansi dengan sejarah lokal Kaltim.
Karena menurut penerima sertifikat kompetensi bidang sejarah dari Kemdikbud-BNSP ini, nama Nusantara adalah salah satu nama dari daerah yang saat ini disebut dengan Kutai merujuk pada beberapa sumber tulisan di zaman Belanda.
Selain Nusantara yang menjadi salah satu nama asal daerah Kutai modern zaman sekarang, Martapura juga menjadi salah satu nama daerah yang dikenal dengan kerajaan pertama hindu-budha di Indonesia.
Dalam tulisannya di Jurnal “Yupa: Historical Studies Journal, Vol. 4” yang diterbitkan FKIP Universitas Mulawarman ini, justru Martapura menjadi nama kerajaan Kutai di zaman hindu-budha tersebut.
Dalam tulisannya tersebut, Muhammad Sarip menyebutkan berdasarkan tujuh prasasti yupa yang dibuat pada abad V Masehi dan kemudian ditemukan pada 1879 dan 1940, kerajaan yang didirikan oleh Aswawarman putra Kundungga di Muara Kaman, Kalimantan Timur tersebut tak bernama Kutai.
Nama Kutai yang disematkan sesungguhnya hanya pendekatan atau asumsi berdasarkan lokasi penemuan prasasti yupa di wilayah Kesultanan Kutai, karena nama Kutai baru diberikan pada abad ke 13 sejak Aji Batara Agung Dewa Sakti mendirikan kerajaan di muara Sungai Mahakam.
“Kerajaan Kutai yang disebut sebagai kerajaan tertua di Nusantara itu nama sebenarnya adalah Martapura, bukan Martadipura, dan tanpa embel-embel Kutai. Hal ini karena nama Kutai baru muncul pada akhir abad ke-13 Masehi yang dicetuskan oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti, sang pendiri Kerajaan Kutai Kertanegara. Martapura dan Kutai Kertanegara adalah dua imperium yang berbeda. Martapura berkedudukan di hulu Sungai Mahakam yakni di Muara Kaman. Pendiri dinastinya adalah Aswawarman putra Kundungga. Adapun ibu kota Kutai Kertanegara lebih dekat ke muara Mahakam, berpindah-pindah dari Jaitan Layar, Tepian Batu, Jembayan, hingga Tenggarong,” tulis Muhammad Sarip.
Kerajaan Martapura yang berdiri pada kisaran tahun 400 Masehi itu akhirnya runtuh pada 1635 akibat diagresi oleh pasukan Kutai Kertanegara yang dipimpin Pangeran Sinum Panji Mendapa.
“Kutai Kertanegara pun menambahkan nama kerajaannya dengan Martapura sehingga menjadi Kutai Kertanegara ing Martapura. Informasi nama Martapura ini terdapat dalam kitab Salasilah Kutai. Nama ing Martapura disematkan sebagai pelengkap nama raja Kutai Kertanegara yang menaklukkan penguasa takhta terakhir di Muara Kaman,” jelasnya.
Fakta lain lanjut Muhammad Sarip di Muara Kaman terdapat kawasan purbakala yang bernama Gunung Martapura.
Nama Martapura sendiri memiliki banyak makna lanjutnya, karena ada yang menyebutkan bahwa kata marta berarti permata atau intan, sedangkan pura berarti kota atau istana.
“Namun, penetapan makna kata ini perlu verifikasi lebih lanjut. Perubahan kata permata menjadi marta terlalu jauh perbedaannya. Yang lebih dekat, marta berasal dari akar kata amarta atau amerta, yang dalam bahasa Sanskerta berarti kehidupan. Jadi, Martapura berarti kota kehidupan,” sebutnya.
Akan tetapi nama Martapura saat ini tak lagi digunakan di Kalimantan Timur, justru digunakan sebagai nama Ibukota Kabupaten Banjar yang berada di Kalimantan Selatan.
Terlebih Martapura di Kalimantan Selatan sendiri pada awalnya bernama Kayu Tangi, yang merujuk Wikipedia Indonesia merupakan nama tempat historis yang menjadi lokasi ibu kota Kesultanan Banjar pada masa Sultan Tahlilullah.
Nama daerah Kayu Tangi sendiri diketahui lebih tua dari nama Martapura, sehingga dapat dikatakan Martapura didirikan di dalam kawasan Kayu Tangi.
Bahkan nama sungai Martapura sebelumnya adalah sungai Kayu Tangi, yang kemudian berubah usai diberikan nama Martapura oleh Sultan Banjar IV Sultan Mustainbillah untuk lokasi keraton yang baru didirikan pada masa itu (sekitar tahun 1632).
Penggunaan nama Martapura di Kalimantan Selatan lanjut Muhammad Sarip dalam tulisannya kemungkinan memiliki hubungan.
“Ada petunjuk dari Prof. Sambas Wirakusumah dkk yang menyusun buku Sejarah Daerah Kalimantan Timur tahun 1977. Diceritakan setelah Kerajaan Martapura di Muara Kaman jatuh ke dalam kekuasaan Kutai Kertanegara, ada seorang bekas menteri Kerajaan Martapura yang menyingkir ke Banjarmasin. Namanya Nanang Baya. Dalam kaitan ini, Banjarmasin sejak 1526 merupakan ibu kota Kesultanan Banjar. Kemudian, pada 1612 Banjar memindahkan pusat pemerintahannya di lokasi yang bernama Kayutangi-Martapura. Pemindahan ibu kota dilakukan oleh Marhum Panambahan atau Sultan Musta’in Billah,” kisahnya.
Berdasarkan kitab Salasilah Kutai kata Muhammad Sarip ternyata, nama yang tertera bukan Nanang Baya, melainkan Ki Narangbaya dan juga disebutkan usai kekalahan Muara Kaman, Ki Narangbaya pergi ke Kota Bangun yang berjarak kurang lebih 20 kilometer ke arah selatan atau hulu Mahakam.
“Tidak ada penyebutan ia mengungsi ke Banjarmasin. Namun, terdapat hal yang unik mengenai nama Narangbaya. Dalam Hikayat Banjar ada penyebutan tokoh bernama Kiai Narangbaja yang hidup sezaman dengan Marhum Panambahan di Kerajaan Banjar. Narangbaja termasuk satu di antara rombongan yang diutus Sultan Banjar untuk berangkat ke Kesultanan Mataram di Pulau Jawa mengantarkan intan dan hadiah lainnya. Peristiwanya terjadi pada tahun 1641. Ini berarti berselang enam tahun setelah runtuhnya Kerajaan Martapura. Jadi, ada kemiripan nama Narangbaya di dua lokasi, Martapura Muara Kaman dan Martapura Banjar,” lanjutnya.
Muhammad Sarip menduga kemungkinan Narangbaja di Hikayat Banjar ini adalah orang yang sama dengan Narangbaya di Muara Kaman, karena ada kemungkinan setelah pindah ke Kota Bangun, Narangbaya melanjutkan perjalanan ke selatan sampai tiba Kayutangi-Martapura.
“Lalu, sebagai mantan pembesar Kerajaan Martapura, Narangbaya mendapatkan kemudahan untuk menjadi pengabdi di Kesultanan Banjar,” tambahnya.
Akan tetapi persamaan nama Martapura antara kerajaan di Kalimantan Timur dan ibu kota Kesultanan Banjar di Kalimantan Selatan terang Muhammad Sarip memiliki hubungan inspirasi.
“Belum dapat dipastikan realitasnya karena memerlukan sumber sejarah lain yang terverifikasi,” tulisnya.