TERAS7.COM – Pemerintah telah menetapkan tanggal pelaksanaan Pemilu Serentak tahun 2024 mendatang berdasarkan kesimpulan hasil Rapat Kerja (Raker) dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI Dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) pada akhir Januari 2022 lalu.
Penyelenggaraan pemungutan suara Pemilihan Umum Serentak untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota serta Anggota DPD RI akan dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 14 Februari 2024.
Sementara pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubemur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota dilaksanakan 9 bulan kemudian pada hari Rabu tanggal 27 November 2024
Namun beberapa pihak mengusulkan agar Pemilu tersebut ditunda, diantaranya adalah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar.
Alasan penundaan satu hingga dua tahun tersebut katanya dikutip dari CNN Indonesia mengacu pada analisa big data perbincangan yang ada di media sosial.
Menurutnya, dari 100 juta subjek akun di media sosial, sebanyak 60 persen mendukung penundaan pemilu dan 40 persen menolak.
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra pun angkat bicara mengenai hal ini, seperti yang ia sampaikan melalui fanpage-nya di media sosial Facebook pada 25 Februari 2022 yang lalu.
Menurut pria yang juga Ketua Partai Bulan Bintang (PBB) ini saat menanggapi pertanyaan salah satu awak media, usul Ketua PKB tersebut boleh-boleh saja.
“Usul seperti Cak Imin itu sebelumnya sudah dikemukakan oleh Pak Bahlil. Dalam negara demokrasi orang boleh usul apa saja tentunya. Tetapi usulan penundaan Pemilu ini menghadapi benturan konstitusi dan undang-undang,” ujarnya.
Sebagai negara hukum kata Yusril, kita wajib menjunjung hukum dan konstitusi, dimana UUD 45 tegas mengatakan bahwa Pemilu diselenggarakan sekali dalam lima tahun.
“Kalau Pemilu ditunda, maka lembaga apa yang berwenang menundanya. Konsekuensi dari peundaan itu adalah masa jabatan Presiden, Wapres, kabinet, DPR, DPD dan MPR akan habis dengan sendirinya. Lembaga apa yang berwenang memperpanjang masa jabatan para pejabat negara tersebut? Apa produk hukum yang harus dibuat untuk menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini belum dijawab dan dijelaskan oleh Cak Imin maupun Pak Bahlil,” paparnya.
Kalau asal tunda pemilu dan asal perpanjang masa jabatan para pejabat negara tersebut tanpa dasar konstitusional dan pijakan hukum yang kuat, maka ada kemungkinan timbulnya krisis legitimasi dan krisis kepercayaan.
“Keadaan seperti ini harus dicermati betul, karena ini potensial menimbulkan konflik politik yang bisa meluas ke mana-mana. Amandemem UUD 45 menyisakan persoalan besar bagi bangsa kita, yakni kevakuman pengaturan jika negara menghadapi krisis seperti tidak dapatnya diselenggarakan Pemilu,” jelasnya.
Sementara itu lanjut Yusril, tidak ada satu lembaga apapun yang dapat memperpanjang masa jabatan Presiden atau Wakil Presiden, atau menunjuk seseorang menjadi Pejabat Presiden seperti dilakukan MPRS tahun 1967.
“Saya berpendapat, penundaan Pemilu 2024 itu hanya mungkin mendapatkan keabsahan dan legitimasi jika dilakukan dengan menempuh tiga cara: pertama Amandemen UUD 45; kedua Presiden mengeluarkan Dekrit sebagai sebuah tindakan revolusioner; dan ketiga Menciptakan konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara,” jelasnya.
Ketiga cara ini sebenarnya sambung Yusril berkaitan dengan perubahan konstitusi, yang dilakukan secara normal menurut prosedur yang diatur dalam konstitusi itu sendiri, atau cara-cara tidak normal melalui sebuah revolusi hukum, dan terakhir adalah perubahan diam-diam terhadap konstitusi melalui praktik, tanpa mengubah sama sekali teks konstitusi yang berlaku.
“Dasar paling kuat untuk memberikan legitimasi pada penundaan Pemilu dan sebagai konsekuensinya adalah perpanjangan sementara masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD dan DPRD adalah dengan cara melakukan perubahan atau amandemen terhadap UUD 45. Prosedur perubahan konstitusi sudah diatur dalam Pasal 37 UUD 45, Pasal 24 sampai Pasal 32, UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagaimana telah diubah, terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2019, serta Peraturan Tata Tertib MPR yang detilnya tidak perlu saya uraikan di sini,” terangnya.
Apa yang perlu diubah lanjut Yusril bukanlah mengubah pasal-pasal UUD 45 yang ada sekarang secara harfiah, tetapi menambahkan pasal baru dalam UUD 45 terkait dengan pemilihan umum.
Dimana lanjutnya pada Pasal 22E UUD 45 dapat ditambahkan pasal baru, yakni Pasal 22 E ayat (7) yang berisi norma “Dalam hal pelaksanaan pemilihan umum sekali dalam lima tahun sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, bencana alam dan wabah penyakit yang sulit diatasi, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang untuk menunda pelaksanaan Pemilu sampai batas waktu tertentu. Semua jabatan-jabatan kenegaraan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum sebagaimana diatur dalam undang-undang dasar ini, untuk sementara waktu tetap menduduki jabatannya sebagai pejabat sementara sampai dengan dilaksanakannya pemilihan umum.
“Dengan penambahan 2 ayat dalam pasal 22E UUD 45 itu, maka tidak ada istilah perpanjangan masa jabatan Presiden, MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Para anggota dari Lembaga Negara seperti MPR, DPR, DPD tersebut berubah status menjadi anggota sementara, sebelum diganti dengan anggota-anggota hasil pemilu. Status mereka sama dengan anggota KNIP di masa awal kemerdekaan, anggota DPRS di masa Demokrasi Liberal dan anggota MPRS di masa Orde Lama dan awal Orde Baru. Kedudukan Presiden Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin juga menjadi Pejabat Presiden dan Pejabat Wakil Presiden, sebagaimana Pejabat Presiden Suharto di awal Orde Baru,” ungkap Yusril.