TERAS7.COM – Pemerintah RI beberapa waktu yang lalu meluncurkan program peningkatan penggunaan produk dalam negeri dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Program ini langsung ditindaklanjuti Jaksa Agung RI Burhanuddin pada Maret 2022 lalu dengan mengeluarkan beberapa instruksi kepada seluruh Kepala Kejaksaan Tinggi diseluruh Indonesia.
Pertama ialan menginventarisasi peraturan perundang-undangan baik di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota yang berpotensi bertentangan atau menghambat pemberlakukan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang mengatur terkait ketentuan kewajiban penggunaan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) Bobot Manfaat Perusahaan (BMP) paling sedikit 40 persen.
Kemudian Kejaksaaan Agung membentuk Tim Legal Assistance guna memastikan terpenuhinya kewajiban 40 persen penggunaan Produk Dalam Negeri (PDN) dalam pengadaan barang/jasa pemerintah di Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota atau BUMD.
Jaksa Agung Burhanuddin juga meminta agar instruksi ini disampaikan pada seluruh Gubernur, Bupati, dan Walikota se Indonesia serta melaporkan setiap pelaksanaan secara berjenjang dan berkala atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
Upaya yang dilakukan Kejaksaan Agung untuk mendukung upaya Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ini mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, salah satunya adalah Ahli Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Khalid Mustafa.
Dalam rilis yang diterima dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Banjar, Ahli Pengadaan Barang/Jasa dari KM&Partners ini menyebutkan upaya kejaksaan tersebut penting.
Karena selama ini menurutnya, jargon “Cintailah Produk-Produk Indonesia” yang sangat familiar tersebut hanya sekedar menghiasi layar kaca maupun radio belaka.
“Kalimat itu tenggelam dalam banjirnya produk-produk impor yang mengisi seluruh kebutuhan sehari-hari bangsa ini, bahkan sampai ke makanan sehari-hari. Contohnya adalah Batik yang sudah dinyatakan oleh UNESCO sebagai produk asli Indonesia, namun di pasar tanah abang justru diisi oleh batik cap dari luar negeri yang menggerus batik cap dan tulis dari daerah. Juga tempe yang merupakan penganan bahkan lauk yang sangat digemari, bahan baku utamanya didatangkan dari Benua Amerika,” sebutnya.
Apalagi hal tersebut sambung Khalid Mustafa diperparah dengan anggaran Pemerintah Pusat maupun Daerah yang sebenarnya diharapkan sebagai bahan bakar penggerak ekonomi negara, justru banyak digunakan untuk belanja produk-produk impor.
“Ini sama saja dengan menggerakkan ekonomi negara lain dan menjadikan negara kita hanya sebagai konsumen belaka. Semangat pemberdayaan Produksi Dalam Negeri (PDN) dan Peran Serta Usaha Mikro dan Usaha Kecil (UMK) dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP) sebenarnya sudah tertuang dalam Pasal 40 Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003 tentang PBJP yang juga diteruskan pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 tentang PBJP dan Perubahannya,” katanya.
Dimana aturan tersebut mewajibkan instansi pemerintah untuk memaksimalkan penggunaan barang/jasa hasil produksi dalam negeri, memaksimalkan penggunaan penyedia barang/jasa nasional, dan memaksimalkan penyediaan paket-paket pekerjaan untuk usaha kecil.
“Namun semangat ini dibatasi hanya dengan kata “memaksimalkan,” tanpa suatu target tertentu sehingga tidak dapat diukur secara jelas. Juga dalam perjanjian diwajibkan untuk mencantumkan persyaratan penggunaan produksi dalam negeri sesuai dengan kemampuan industri nasional. Kalimat “sesuai dengan kemampuan industri nasional” juga tidak memiliki parameter yang tegas, karena industri nasional sendiri memiliki kesulitan dalam melakukan produksi sesuai kebutuhan dalam negeri,” jelasnya.
Khalid Mustafa mengungkapkan sulitnya perijinan, permodalan, bahan baku, distribusi, dan pemasaran menjadi alasan klasik dan berulang sehingga menyebabkan pengusaha lebih memilih mengimpor dibandingkan membangun industri dalam negeri.
Walaupun kemudian pemberdayaan PDN dalam PBJP mencapai momentum dengan dikeluarkannya Perpres Nomor 12 Tahun 2021 yang menegaskan bahwa Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah (K/L/PD) wajib menggunakan produk usaha kecil serta koperasi dari hasil produksi dalam negeri.
“Sudah ada kewajiban alokasi anggaran sebesar 40 persen untuk PDN. Namun, lagi-lagi hal ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya gerakan bersama dari semua K/L/PD, karena permasalahan PDN bukan sekedar permasalahan PBJ belaka, melainkan permasalahan lintas sektor, termasuk perijinan, keuangan, perindustrian, pengawasan, bahkan Aparat Penegak Hukum (APH),” terangnya.
Pihaknya sambung Khalid Mustafa menyambut terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan PDN dan Produk UMK dan Koperasi dalam rangka Menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia pada Pelaksanaan PBJP merupakan suatu terobosan besar.
“Inpres ini juga menginstruksikan kepada Jaksa Agung untuk melakukan pendampingan hukum pada K/L/PD dalam hal terdapat permasalahan dalam pelaksanaan penggunaan PDN dan memerintahkan Jaksa Pengacara Negara untuk melakukan langkah hukum yang diperlukan terhadap pelanggaran Pelaku Usaha atas ketentuan mengenai PDN sehingga dapat menghadirkan rasa aman kepada seluruh K/L/PD dengan cara menjadi pendamping apabila terdapat permasalahan dalam pelaksanaan penggunaan PDN,” ungkapnya
Proses pendampingan ini kata Khalid Mustafa hendaknya dilakukan dengan mekanisme pencegahan (preventif) dan bukan menggunakan mekanisme penindakan (represif) agar Kejaksaan dapat menjadi pendamping dan pengayom dari K/L/PD untuk melaksanakan instruksi dari Presiden tersebut.
“Kejaksaan memiliki organ yang cukup, baik dari segi organisasi melalui bidang Perdata dan Tata Usaha Negara maupun dari segi sebaran organisasi melalui Kejaksaan Tinggi hingga Kejaksaan Negeri yang tersebar dari Aceh hingga Papua,” ujarnya.
Tinggal peran krusial yang dapat dilakukan oleh Kejaksaan lanjut Khalid Mustafa adalah memetakan titik-titik rawan dalam pelaksanaan Inpres dalam lingkup PBJP, yang dimulai dari tahapan perencanaan pengadaan (Identifikasi kebutuhan, Penetapan barang/jasa, cara, jadwal, dan anggaran PBJ), persiapan pengadaan (penetapan HPS, Rancangan Kontrak, dan Spesifikasi Teknis/KAK), pelaksanaan pengadaan (pelaksanaan pemilihan dan pelaksanaan kontrak), dan serah terima hasil pekerjaan serta melakukan pendampingan dalam mencegah terjadinya permasalahan hukum dalam setiap tahapan tersebut khususnya dalam penggunaan PDN.
“Peran krusial lain yang perlu dilaksanakan oleh Kejaksaan adalah melakukan legal audit terhadap Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh K/L/PD agar tercipta harmonisasi dan mencegah hambatan dalam pelaksanaan Inpres Nomor 2 Tahun 2022. Sedangkan peran lain dalam tahapan pencegahan adalah memberikan pendapat hukum kepada K/L/PD khususnya apabila memerlukan diskresi dalam pelaksanaan Inpres Nomor 2 Tahun 2022,” jelasnya.
Terakhir Kejaksaan ujar Khalid Mustafa dapat melakukan peran bersifat represif dalam bentuk penegakan hukum apabila terdapat ketidakpatuhan terhadap Peraturan perundang-undangan.
“Namun peran ini sebaiknya tetap didasarkan pada hasil pendalaman terhadap penyebab dari ketidakpatuhan yang terjadi serta menerapkan sanksi yang tepat untuk setiap ketidakpatuhan. Pada akhirnya, Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia hanya dapat terwujud melalui sinergi seluruh K/L/PD serta Masyarakat Indonesia berdasarkan simfoni yang padu berlandaskan niat luhur untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera,” tutupnya.