TERAS7.COM – Kecamatan Astambul adalah salah satu daerah di Kabupaten Banjar yang sering di datangi oleh penziarah yang berkunjung makam Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari atau Datu Kelampaian yang terletak di Desa Kelampaian dan menjadi salah satu destinasi wisata religi terpenting.
Selain memiliki destinasi wisata religi, Kecamatan Astambul juga memiliki daya tarik lain yang jarang dilihat banyak orang, yaitu sebagai pusat penggilingan dan penjualan kopi khas Banjar, Kopi Pengaron di Desa Pasar Jati yang dilalui di Jalan Ahmad Yani menuju ke Hulu Sungai, hanya berjarak 1 km dari Jembatan Pasar Astambul.
Kopi Pengaron merupakan kopi berjenis robusta yang di tanam di wilayah Kabupaten Banjar yang bijinya berasal dari kebun kopi rakyat di Kecamatan Pengaron yang memiliki rasa yang khas tidak terlalu pahit dan tidak juga terlalu asam seperti kopi robusta pada umumnya.
Di Desa Pasar Jati ini, ada beberapa warung yang menjual Kopi Pengaron murni yang dijual dengan kemasan plastik biasa tanpa memiliki label, dijual dengan 2 jenis kemasan, yaitu kemasan kecil dengan harga 9000 rupiah seberat 1 ons dan kemasan besar dengan harga 23.000 rupiah dengan berat seperempat kilogram.
Selain menjadi pusat penjualan kopi, desa ini juga menjadi sentral penggilingan biji kopi tradisional asal Pengaron ini dan Teras7.com berkesempatan mengunjungi salah satu usaha penggilingan biji kopi, yaitu milik Abdullah warga Desa Pasar Jati pada selasa pagi (16/1).
Abdullah atau akrab di sapa Dullah adalah pemilik usaha penggilingan biji kopi tradisional yang sudah ada sejak lama ini memiliki kapasitas produksi yang cukup besar, akan tetapi pada saat dikunjungi Teras7.com, usaha penggilingan ini sedang tidak berbekerja.
“Saya memulai usaha penggilingan kopi ini sejak tahun 1970-an, tapi beberapa bulan belakangan ada penurunan produksi kopi, jadi agak jarang saya menggiling kopi,” ujarnya.
Dullah menjelaskan bahwa usaha penggilingan kopi miliknya ini hanya dikerjakannya sendiri karena peralatan dan cara kerjanya masih tradisional, karena itu hanya bekerja setiap ada pesanan untuk menggiling biji kopi, tidak bekerja setiap hari.
“Jadi penggilingan kopi ini kerja kalau ada pesanan, tapi biasanya setiap minggu selalu ada yang ke sini ingin menggiling biji kopi. Penggilingan kopi saya inilah yang memproduksi Kopi Martapura Cap Dullah yang namanya di ambil dari nama saya dan di produksi oleh Fajar Pratama. Di tempat saya juga di produksi kopi lokal yang di jual di Koperasi Korem 101 Antasari,” ungkapnya.
Dullah menjelaskan kopi Pengaron ini sangat di gemari oleh berbagai kalangan karena memiliki rasa yang nikmat dibandingkan kopi yang lain.
“Mungkin karena kopi Pengaron ini di tanam di daerah pegunungan dan tidak diberi pupuk, sehingga memiliki rasa yang asli. Makanya sempat 2 kali Danrem 101 Antasari (Sekarang Mantan Danrem 101 Antasari, Brigjen TNI Syaiful Rachman-Red) datang ke sini untuk menggiling biji kopi, karena Danrem 101 Antasari sangat suka dengan kopi Pengaron. Akan tetapi kopi Pengaron ini tidak di tanam secara khusus dalam satu perkebunan, tapi di tanam di sela-sela kebun rakyat, makanya rasanya tidak seragam, tidak seperti kopi produksi luar,” kata Dullah.
Dullah sendiri menjelaskan dirinya sudah mulai bekerja sebagai penggiling kopi sejak berumur 13 tahun, akan tetapi dulu cara kerjanya sangat tradisional.
“Dulu kerja menumbuk biji kopi hanya menggunakan alu dan lesung, jadi ditumbuk manual. Dulu saya kerja menggiling kopi pada keluarga yang sekarang menjadi istri saya. Setelah menikah saya diberikan modal untuk berusaha menggiling kopi dan setelah mengumpulkan modal, saya membeli mesin penggiling biji kopi pada tahun 1975 dan menjadi usaha penggilingan biji kopi tradisional pertama yang menggunakan mesin,” ungkap Dullah.
Usaha penggilingan kopi tradisional milik Dullah ini walaupun sederhana tapi mampu memproduksi kopi hingga 100 kg perhari, di mana alat produksinya hanya terdiri atas tungku pemanggangan yang diputar manual dengan tangan, tempat untuk menghamparkan biji kopi yang habis dipanggang agar dingin dan mesin penggiling biji kopi produksi tahun 1970-an yang masih dapat bekerja dengan baik hingga saat ini.
“Untuk membuat bubuk kopi, ada beberapa tahapan. Pertama biji kopi di panggang dalam alat pemanggang dan sambil di putar. Alat saya ini paling banyak hanya bisa memanggang biji kopi sebanyak 35 kg, tapi biasanya cuma diisi 20 kg dan pemanggangannya pun dalam waktu 1 jam. Baru nanti biji kopi dihamparkan agar dingin dan dibersihkan dari kotoran yang tersisa sebelum digiling menjadi bubuk kopi,” jelas Dullah.
Dullah sendiri mengeluhkan penurunan Kopi Pengaron selama 10 tahun belakangan akibat kalah bersaing dengan dengan kopi dari daerah lain dan belum ada perhatian dari Pemerintah untuk mengembangkan dan mengenalkan kopi lokal ini secara besar-besaran pada masyarakat luar.
“Padahal kopi Pengaron ini memiliki rasa yang enak juga murni tanpa campuran dengan bahan lain seperti biji jagung. Kalau dulu hampir setiap hari saya menggiling kopi hingga 100 kg, tapi sekarang hanya 150 kg saya perminggu,” katanya.
Dullah pun menambahkan walaupun kapasitas penggilingan kopinya cukup besar untuk memproduksi kopi secara tradisional, tapi alat produksinya sudah ketinggalan zaman.
“Sebenarnya sangat penting ada bantuan dari Pemerintah Daerah utamanya untuk mengganti alat yang sudah ketinggalan zaman dan tidak layak. Dengan alat yang layak kita bisa meningkatkan produksi dan kualitas Kopi Pengaron,” harap Dullah.