Polemik tersebut selanjutnya justru menaikkan publisitas dan popularitas kaus oblong dalam percaturan mode.
Akibatnya pula, beberapa perusahaan konveksi mulai bersemangat memproduksi benda itu, walaupun semula mereka meragukan prospek bisnis kaus oblong.
Mereka mengembangkan kaus oblong dengan pelbagai bentuk dan warna serta memproduksinya secara besar-besaran.
Citra kaus oblong semakin menanjak lagi manakala Marlon Brando sendiri – dengan berkaus oblong yang dipadu dengan celana jins dan jaket kulit – menjadi bintang iklan produk tersebut.
Mungkin, dikarenakan oleh maraknya polemik dan mewabahnya demam kaus oblong di kalangan masyarakat, pada tahun 1961 sebuah organisasi yang menamakan dirinya “Underwear Institute” (Lembaga Baju Dalam), menuntut agar kaus oblong diakui sebagai baju sopan seperti halnya baju-baju lainnya.
Mereka mengatakan, kaus oblong juga merupakan karya busana yang telah menjadi bagian budaya mode.
Demam kaus oblong yang melumat seluruh benua Amerika dan Eropa pun terjadi sekitar tahun 1961 itu.
Apalagi ketika aktor James Dean mengenakan kaus oblong dalam film Rebel Without A Cause, sehingga eksistensi kaus oblong semakin kukuh dalam kehidupan di sana.
Perlahan namun pasti, T-shirt mulai menjadi bagian dari busana keseharian yang tidak hanya dipakai untuk pakaian dalam, tetapi juga menjadi pakaian luaran.
Pada pertengahan tahun 50an, T-shirt sudah mulai menjadi bagian bagian dari dunia fashion.
Namun baru pada tahun 60’an ketika kaum hippies mulai merajai dunia, T-shirt benar-benar menjadi state of fashion itu sendiri.
Sebagai sebuah simbol (lagi-lagi) anti kemapanan, para hippies ini menggunakan T-shirt/kaus sebagai salah satu simbolnya.
Semenjak saat itulah revolusi T-shirt terjadi secara total. Para penggiat bisnis menyadari bahwa T-shirt dapat menjadi medium promosi yang amat efektif serta efesien.
Segala persyaratan sebagai medium promosi yang baik ada di T-shirt. Murah, mobile, fungsional, dapat dijadikan suvenir, dan seterusnya.
Menjadi Media Propaganda, Menembus Batas